News

Mr President, The Romance is Over!

Jelang purna tugas sebagai Presiden RI dua periode, Joko Widodo (Jokowi) mulai ditinggalkan pendukung. Banyak pendukung yang dulu militan, kini justru terang-terangan mengkritik.

“Jangan mengkritik Jokowi, maka Anda diserang,” demikian adagium yang terus melekat selama hampir satu dekade terakhir. Menunjukkan betapa harmonis dan romantisnya hubungan Jokowi dengan para loyalisnya.

Romansa ini bahkan sudah menjadi fenomena menarik, jauh sebelum Jokowi duduk di kursi RI-1. Sejak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012 silam, popularitas Jokowi memang sudah tidak bisa disangsikan lagi. Setiap gerak-geriknya selalu dipantau media dan publik.

Saat bersamaan itu pula, muncul barisan loyalis yang bisa dibilang kerap gelap mata. Para fans garis keras ini siap setiap saat menjaga dan mengawal Jokowi dari para pengkritiknya. Segala kritik–bahkan masukan–selalu dianggap para loyalisnya sebagai ancaman. Akibatnya, mengembangkan sikap asal menyerang kepada siapa saja yang mengkritik Jokowi.

Fenomena pembelaan membabi buta terhadap Jokowi muncul di saat ada suara miring atau kritik terhadap tokoh idolanya. Fenomena itu secara dominan muncul di dunia maya maupun di berbagai media. Siapapun yang mengritik Jokowi, maka bersiaplah akan mendapat serangan balik dari para loyalisnya.

Para loyalis tidak peduli siapapun sasarannya, budayawan sekelas Muhammad Ainun Nadjib alias Cak Nun saja tidak dikasih ampun. Denny Siregar contohnya, yang tak terima idolanya kala itu disebut Cak Nun sama seperti Firaun dalam memimpin Indonesia. Menurutnya, Cak Nun patut untuk ditertawakan jika terus membicarakan terkait dengan perpolitikan dalam negeri.

“Cak Nun itu seorang budayawan, sastrawan, musisi dan seniman. Hormati dia disitu. Kalau dia ngomong politik, ketawain aja. Orang juga kan harus cari makan.. ,” cuit Denny Siregar di linimasa Twitter-nya (sekarang X), dikutip Selasa (17/1/2023).

Denny Siregar tidak sendiri, ada juga loyalis lainnya. Pegiat media sosial Permadi Arya atau yang akrab disapa Abu Janda pernah pasang badan ketika Jokowi diolok-olok banyak netizen karena bahasa inggrisnya dinilai berantakan ketika penyelenggaraan KTT G20 di Bali.

post-cover
Pegiat media sosial sekaligus eks loyalis Jokowi, Denny Siregar. (Foto: tangkapan layar YouTube CokroTV).

Abu Janda mengakui bahasa Inggris Jokowi jauh dari sempurna. Namun setidaknya, Jokowi berani terus mencoba. “Selama G20, banyak yang olok-olok bahasa inggris Pak Jokowi, bahasa inggris beliau memang jauh dari sempurna, tapi setidaknya beliau berani mencoba. Video penutupan G20 Pak Jokowi ladeni wartawan asing, spontan tanpa teks. Ini keren Pak Jokowi,” tulis dia di akun Instagramnya pada November 2022 silam.

Jangankan pengkritik lokal, media asing pun tak luput jadi sasaran para pasukan berani mati Jokowi ini. Masih ingat bagaimana dulu media asal Hong Kong, Asia Times pada Januari 2018 silam mengkritik keras Jokowi melalu artikel bertajuk ‘Widodo’s smoke and mirrors hide hard truths’ karya jurnalis John Mcbeth?

Tulisan ini, menyoroti pemerintahan Jokowi yang ahli dalam permainan asap dan cermin (smoke and mirrors), diadopsi dari trik yang digunakan para pesulap. Jokowi dianggap pintar kelabui khalayak soal pencapaian pemerintah yang moncer, padahal kenyataannya hal itu tidak terjadi atau tercapai.

Kala itu, Mcbeth menyoroti klaim pemerintah berhasil menurunkan proporsi impor daging sapi terhadap total konsumsi turun dari 31 persen menjadi 24 persen, pada 2015. Jokowi dianggap berbohong karena fakta bahwa orang Indonesia hanya makan 2,7 kilogram per tahun, yang merupakan tingkat per kapita terendah di ASEAN. Ditambah dengan kembali meningkatnya proporsi impor daging sapi menjadi 32 persen pada 2016 dan 41 persen pada 2017.

Jurnalis senior Goenawan Mohammad–saat itu masih loyalis–langsung merespons melalui akun facebooknya. Tulisan McBeth disebut Goenawan bukan hasil investigasi dengan kerja keras. Materi yang ditulis Mcbeth bukan informasi baru. Goenawan mengatakan bahwa kasus-kasus yang ditulis Mcbeth sebenarnya tak luput ditulis oleh media-media di Indonesia.

Di sisi lain, Goenawan memaparkan, beberapa hasil survei menunjukkan tingginya tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan Jokowi. Pada saat yang sama, berbagai pihak juga mengingatkan Jokowi agar lebih baik dalam merumuskan kebijakan, lebih terkoordinir dan lebih efektif. “Pendek kata, kita tak perlu bertepuk tangan untuk tulisan pendek McBeth, dan sebaliknya tak perlu juga mengepalkan tinju,” tulis Goenawan kala itu.

Situasi kini berbalik. Para loyalis Jokowi beberapa waktu belakangan, satu per satu mulai meluapkan kekecewaannya dan menyatakan berpisah dari barisan pendukung Jokowi. Yang terbaru, tersebar sebuah pesan pendek di grup WhatsApp akhir pekan lalu. Pesan itu dikirim oleh seseorang yang memakai nama ‘’Gunawan Muhammad’’. Isinya pernyataan singkat bahwa dirinya kecewa karena merasa dibodohi dan dibohongi oleh Jokowi. Selama ini dia mendukung Jokowi—nyaris tanpa reserve—tapi ternyata sekarang Jokowi melenceng jauh dari harapannya.

Pesan pendek itu viral dengan sangat cepat. Goenawan Mohamad yang asli segera merespon unggahan itu dengan menulis pernyataan yang lebih lengkap. Secara implisit ia mengatakan bahwa narasi itu bukan tulisannya, karena penulisan namanya salah. Ia menulis lagi pesan yang lebih lengkap, tetapi isinya tidak banyak berbeda dari versi sebelumnya.

post-cover
Wartawan senior sekaligus mantan loyalis Jokowi, Goenawan Mohamad. (Foto: Ist).

Goenawan mengamati sosok Jokowi saat ini memberikan keistimewaan bagi anak-anaknya secara tidak adil. Sebagaimana diketahui, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dengan mudahnya ikut kontestasi Pemilihan Wali Kota Solo pada 2020.

Padahal ia baru saja bergabung sebagai kader PDIP. PDIP sendiri dikenal sebagai partai yang tidak mudah memberikan kesempatan apalagi untuk kader anyar. Kekinian, nama Gibran malah santer didorong untuk menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres).

“Gibran mungkin wali kota yang baik, tapi ia tak tertandingi karena tak pernah ada pertandingan. Ia juara yang tak sejati. Dan lebih buruk lagi, rasa keadilan dilecehkan, aturan yang disepakati dikhianati,” terangnya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (14/10/2023).

Goenawan mengaku sedih melihat itu semua. Demokrasi yang awalnya disangka berjalan baik, kini malah dirusak. Ia menyadari bahwa banyak orang yang merasakan hal serupa tapi tidak memiliki kekuatan untuk melawannya. Meski begitu, Goenawan mengaku tidak akan tinggal diam ketika melihat ada yang berubah dari sosok Jokowi.

“Tapi tak bisa saya akan hanya diam; saya akan bersalah kepada negeri kita yang satu-satunya ini jika saya hanya diam. Dengan catatan, dalam umur lanjut ini, saya sadar batas. Tanpa ingin lumpuh, saya cemas tapi saya punya harap” ungkapnya.

Goenawan bukan yang pertama, sebelumnya Denny Siregar juga sudah lebih dulu mengkritik bekas idolanya. Ia mengaku sudah muak dengan Jokowi, sang die hard mengaku kecewa dengan apa yang dilakukan Jokowi dalam rangka memuluskan Gibran ke pentas Pilpres 2024.

Bahkan, Denny Siregar membandingkan keluarga Jokowi dengan keluarga Presiden ke-2 RI, Soeharto. Kritik ini dilontarkan Denny lewat unggahan video di kanal YouTube 2045 TV, beberapa waktu lalu. Dirinya protes, anak-anak Jokowi yang mendapat keistimewaan terjun politik semakin menjadi bahan pembicaraan.

“Enggak perduli siapapun itu. Tapi selama konstitusi dilanggar untuk kepentingan kekuasaan, gua akan ada di barisan terdepan. Ini bukan tentang siapa yang akan menjadi Presiden kelak. Tapi apa yang yang akan kita wariskan ke anak cucu kita kelak. Saya cinta Jokowi. Tapi lebih cinta pada NKRI,” kata Denny.

Bila Denny dan Goenawan mulai bersuara mengkritik, beda lagi dengan mantan loyalis Jokowi, Abu Janda. Buzzer yang bernama lengkap Permadi Arya ini, disebut sedang bergerak merayu para buzzer lainnya untuk berhenti mendukung Jokowi.

Hal ini diungkap oleh salah satu buzzer Jokowi, Aoki Vera Kurniawati. Ia mengungkap pernah ditawari sejumlah uang dan jabatan agar berhenti membela Jokowi. Meski begitu dia mengaku menolak untuk tawaran tersebut.

post-cover
Pegiat media sosial dan eks loyalis Jokowi, Permadi Arya alias Abu Janda. (Foto: suara).

Aoki Vera mengemukakan, kejadian tersebut berlangsung pada Mei tahun 2022 silam. Waktu itu, Abu Janda mengajak Vera untuk berhenti mendukung Jokowi. Dia bilang pada waktu itu, ‘Ver, ngapain sih lu masih belain Jokowi? Orang udah pada capek belain Jokowi, nggak ada yang mau, nggak dapet apa-apa, udah pada capek buat NKRI’,” katanya dikutip melalui akun TikTok @indonesia.emas8 pada Jumat (22/9/2023).

Yang jelas, kata dia, Permadi mengatakan bahwa dirinya lelah mendukung Jokowi karena tidak mendapatkan apapun. Permadi mengaku sakit hati sebab dulu saat kasus penistaan agama yang menimpa dirinya, tidak ada dari pihak Jokowi yang membelanya. “Dia sakit hati karena waktu kena kasus penistaan agama nggak dibelain sama pihaknya Jokowi, yang bela dia dari Partai Gerindra,” tutur dia.

Menanggapi fenomena ini, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana) Samuel F Silaen, menduga banyaknya loyalis Jokowi yang balik badan dikarenakan kecewa melihat sikap dan ucapan Jokowi yang kerap berseberangan dengan keinginan rakyat. Banyak pendukung yang dulu militan, kini justru terang-terangan mengkritik. Sebut saja Goenawan Mohamad, Denny Siregar, Ade Armando, dan Abu Janda.

“Ini tokoh penting di lini sosial media yang sangat aduhai, mati-matian mendukung dan membela Joko Widodo selama ini. Tapi belakangan sepertinya berbalik arah jadi oposan Jokowi,” kata pengamat politik, Samuel F Silaen, lewat keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu (15/10/2023).

Silaen juga mengatakan, kritik keras dari barisan pendukung Jokowi, saat ini bisa diartikan sebagai bentuk ketidaksetujuan, bahkan penolakan. “Tagline ‘Jokowi adalah Kita’ itu sudah sirna ditelan bumi. Awal yang baik tidak dapat dipertahankan Jokowi sebagai legacy of destiny, sehingga tidak happy ending,” tuturnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button