Paruh pertama 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin 14 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS). Ternyata, biang keroknya tata kelola dana nasabah yang ugal-ugalan.
Seperti disampaikan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, ke-14 BPR dan BPRS yang dicabut izinnya itu, sebagian besar karena faktor internal. Ya itu tadi, pengelolaannya menyalahi aturan alias fraud.
“Jadi sebagian penyebab utama dari bank BPR jatuh (bangkrut) karena fraud. Bukan karena dampak ekonomi,” kata dia, Jakarta, dikutip Selasa (6/8/2024).
Agar tidak terulang, kata dia, LPS berencana memperkuat pengawasan manajemen BPR maupun BPRS di dalam negeri.
Hal ini dilakukan dengan mengembangkan sistem informasi dan teknologi yang akan mendukung operasional BPR.
Purbaya sempat menyinggung, sejumlah BPR tidak memiliki sistem informasi dan teknologi yang baik untuk mendukung operasional bisnis.
Pasalnya, pengembangan sistem informasi perbankan membutuhkan anggaran yang besar. “Makanya ke depan kita sedang membuat program yang berhubungan dengan IT, supaya kita bisa melatih manajemen dari BPR-BPR gitu tadi,” tuturnya.
Sekedar mengingatkan, jumlah BPR dan BPRS yang bangkrut diprediksikan akan terus bertambah. Jumlah BPR dan BPRS yang ditutup di semester I-2024, lebih banyak ketimbang 2023 yang hanya 4 BPR. Selain itu, jumlah BPR yang dicabut izinnya pada 2024, lebih tinggi ketimbang rata-rata tiap tahun sebanyak 6-7 BPR.
Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran, Arianto Muditomo mengatakan hal yang berbeda. Fenomena BPR yang berguguran tidak hanya disebabkan fraud.
Banyaknya BPR yang tutup atau dicabut izinnya beberapa bulan belakangan adalah akibat kendala dengan permodalan yang kurang kuat dan persaingan bisnis yang ketat.
Seiring itu, BPR juga mengalami keterlambatan dalam mengadopsi kemajuan teknologi. “Jadi bukan karena adanya fraud sebagai penyebab dominan,” kata dia.
Ia menambahkan, tata kelola menjadi salah satu hal utama yang menjadi perhatian regulator dalam pengelolaan BPR.
Untuk itu regulator menerbitkan POJK 7/2024 demi memastikan BPR/BPRS meningkatkan kualitas tata kelolanya terutama setelah terbitnya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dan maraknya digitalisasi keuangan.
Di samping terbitnya UU P2SK, POJK 7/2024 membawa angin segar bagi iklim bisnis BPR dan peningkatan tata kelola BPR atau BPRS. “Namun, implementasinya menghadirkan beberapa tantangan,” imbuh dia.
Pasalnya, penerapan tata kelola yang efektif membutuhkan komitmen dan sumber daya memadai, terutama bagi BPR atau BPRS kecil.
Di sisi lain, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), melalui pelatihan dan pengembangan karyawan juga diperlukan.