Market

14 Hari Terjun Bebas, Saham GOTO Dinilai ‘Ponzi’ dan Tak Layak Masuk Bursa

Penurunan saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) sudah memasuki hari perdagangan ke-14 secara beruntun. Kini, pada perdagangan Kamis (1/12/2022) pagi, saham teknologi ini langsung dibuka dengan auto rejection bawah alias ARB di level psikologis Rp100 per unit saham.

Itu berarti, saham ini longsor ke level terendahnya sepanjang sejarah sejak Initial Public Offering (IPO) dengan penurunan Rp7 atau 6,5 persen. Menurut Pengamat dan Praktisi Pasar Saham Sem Susilo, level Rp100 itu merupakan level pertaruhan. Jika gagal bertahan, saham ini akan terus mengalami penurunan tajam alias terjun bebas.

Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) mengatakan, harga saham GoTo masih terus anjlok, menyentuh batas bawah harian, atau ARB. Saat harga ditutup menjadi Rp107 per saham kemarin, saham GOTO turun 68,3 persen dari harga perdana sebesar Rp338 per saham.

“Kalau tidak ada auto rejection, saham GoTo mungkin sudah lama jadi gocap (Rp50 per unit saham),” katanya di Jakarta, Kamis (8/12/2022).

Menurut dia, penurunan drastis harga saham GoTo ini bukan kejutan, tapi sudah dapat diperkirakan sejak awal. “Karena kinerja GoTo selama ini, selama perusahaan berdiri, memang sangat buruk, dan sekarang malah memburuk,” ujarnya.

GOTO Tak Layak Tawarkan Saham di Bursa Efek

Oleh karena itu, dia menegaskan, GoTo seharusnya tidak layak go public, tidak layak menawarkan sahamnya di Bursa.

Anthony pun membeberkan alasannya:

1. Aset Terlalu Dibesarkan

Menurut dia, alasan pertama adalah aset GoTo terlalu (di)besar(kan). Sebelum go public, Gojek mengakuisisi (atau merger dengan) Tokopedia, untuk menjadi Gojek Tokopedia alias GoTo.

Tokopedia didirikan tahun 2009, dan kinerjanya rugi terus selama berdiri. Rugi Tokopedia tahun 2020, sebelum diakuisisi mencapai Rp4,3 triliun, dengan akumulasi rugi per akhir tahun 2020 mencapai Rp18,3 triliun, dan Kekayaan Bersih hanya Rp11,8 triliun.

“Dengan kondisi kinerja yang buruk seperti ini, nilai akuisisi yang harus dibayar Gojek kepada Tokopedia lebih dari Rp100 triliun, dengan goodwill Rp93,15 triliun,” ungkap Anthony.

Tentu saja, kata dia, nilai akuisisi ini sangat tidak normal dan membuat harga saham GoTo pada saat Go Public juga menjadi tidak normal sehingga merugikan investor publik.

Karena akuisisi Tokopedia dibayar dengan saham GoTo, maka jumlah saham beredar GoTo menjadi sangat besar. Ini membuat kapitalisasi pasar GoTo seolah-olah sangat besar, alias menggelembung.

2. Profitabilitas Selalu Rugi

Alasan kedua, sambung dia, adalah profitabilitas. Gojek dan Tokopedia sejak berdiri sampai merger menjadi GoTo selalu rugi, dan ruginya semakin membesar.

Rugi GoTo tahun 2021 mencapai Rp22,5 triliun dan 2022 (9 bulan) mencapai Rp20,7 triliun, sehingga total  rugi dalam 1 tahun dan 9 bulan mencapai Rp43,2 triliun, atau 43,5 persen dari akumulasi kerugian selama berdiri.

Total akumulasi rugi GoTo sampai akhir tahun 2021, sebelum penawaran perdana, mencapai Rp79,2 triliun. Dengan total rugi sebesar ini, GoTo tidak akan bisa membagikan dividen untuk jangka waktu yang sangat lama, sampai akumulasi rugi terkompensasi menjadi positif, yang mungkin tidak akan pernah terjadi.

Karena itu, pengembalian investasi di GoTo hanya dapat diharapkan dari kenaikan harga saham, yang mungkin juga tidak akan pernah terjadi, seperti dikatakan secara eksplisit di dalam prospektus, perseroan halaman 141.

Karakteristik GOTO Bagaikan Ponzi

Kalau perusahaan tidak dapat membagikan dividen, dan kenaikan harga saham hampir tidak mungkin terjadi, Anthony pun mempertanyakan kenapa GoTo dibolehkan menawarkan sahamnya kepada publik (Go Public).

Ketika investor hanya bisa mengharapkan pengembalian investasinya dari kenaikan harga saham, maka konsep ini sama saja seperti spekulasi dan gambling yang mempunyai karakteristik bagaikan ponzi.

Artinya, investor yang beli saham GoTo terakhir-terakhir akan menanggung rugi dari semua keuntungan investor-investor terdahulu.

Kedua alasan ini seharusnya menjadi acuan bagi Otoritas Jasa Keuangan atau OJK untuk tidak memberi izin go public kepada GoTo.

Kedua alasan ini juga seharusnya menjadi pertimbangan serius bagi Telkomsel untuk tidak investasi dengan membeli saham GoTo. “Tetapi, kenapa semua rambu-rambu ini ditabrak? Apakah ada kekuatan yang memaksa untuk menabrak semua rambu-rambu tersebut?” timpal dia mempertanyakan.

“Semoga semua misteri Go Public GoTo dapat segera terungkap.”

Sebelumnya, Erry Firmansyah, mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) menyatakan, melenggangnya perusahaan-perusahaan yang masih mengantongi kerugian untuk melakukan IPO, seperti GOTO, telah mengubah prinsip hajatan pasar modal itu.

Semula, kata dia, investor berorientasi fundamental dengan target dividen. Dengan begitu, sekarang mereka bergeser menjadi spekulatif dengan sasaran capital gain.

“Ya, akhirnya orang diajak untuk berspekulasi saja bahwa saham IPO itu akan menjadi capital gain. Iya kalau capital gain, kalau loss, ya capital loss namanya ya,” katanya saat wawancara khusus dengan Inilah.com di kediamannya yang asri, Kawasan Darmawangsa, Jakarta Selatan setelah saham GOTO resmi melantai di bursa, 11 April 2022.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button