20 Tahun Tsunami Aceh; Peran Besar BRR yang Luput Kita Apresiasi


Beberapa tokoh berpendapat bahwa keberhasilan BRR tenggelam di tengah dinamika politik nasional. Masa jabatan BRR tergolong singkat—2005 hingga 2009—sementara isu politik nasional terus bergulir, meredupkan pemberitaan positif mengenai keberhasilan BRR. Selain itu, Kuntoro bukanlah figur politik yang aktif “menjual” pencapaiannya. Beliau lebih banyak berfokus pada kerja lapangan dan penguatan sistem, sehingga “kilau” prestasi BRR tidak selalu mencuat ke permukaan publik.

Dua puluh tahun telah berlalu sejak bencana tsunami dahsyat melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Rentang waktu dua dekade bukanlah durasi yang singkat; seharusnya sudah banyak refleksi yang kita lakukan terkait musibah besar tersebut. Namun, sering kali apresiasi terhadap beberapa pemangku kepentingan yang berperan krusial dalam proses penanganan dan pemulihan pasca-bencana justru luput dari perhatian. Salah satunya adalah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias di bawah kepemimpinan Kuntoro Mangkusubroto, yang sukses memulihkan Aceh dan Nias hingga mendapatkan pujian dunia.

Besarnya Dampak Tsunami 2004

Tsunami yang dipicu gempa berkekuatan 9,1–9,3 skala Richter pada 26 Desember 2004 itu bukan hanya mengguncang Aceh dan beberapa wilayah di sekitar Samudra Hindia, tetapi juga mencatat sejarah kelam dengan korban jiwa terbesar di Indonesia pascareformasi. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan sejumlah lembaga internasional mencatat bahwa total korban meninggal dunia di Aceh saja mencapai sekitar 160.000–180.000 jiwa. Ada pula estimasi yang memperhitungkan korban hilang tak teridentifikasi mencapai puluhan ribu orang. Lebih dari 500.000 warga di Aceh kehilangan tempat tinggal, sehingga tiba-tiba berubah status menjadi pengungsi.

Selain tingginya jumlah korban manusia, sektor fisik dan infrastruktur pun hancur lebur. Diperkirakan setidaknya 130.000 rumah hancur total di wilayah Aceh. Bangunan sekolah, rumah sakit, perkantoran pemerintah, dan fasilitas publik tak terhitung rusak ringan hingga berat. Listrik terputus, saluran air bersih pun lumpuh, dan jalan-jalan penghubung desa terputus. Aceh menjadi ‘zona bencana’ yang menuntut respons cepat, tepat, dan berskala masif.

Ironisnya, bencana ini terjadi di tengah transisi pemerintahan nasional—Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla baru saja dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada Oktober 2004. Bencana sebesar ini tentu bukan sekadar persoalan bantuan tanggap darurat, tetapi menuntut sinergi lintas kementerian dan lembaga, serta mewajibkan pemerintah untuk merancang lembaga khusus yang mampu menangani rehabilitasi dan rekonstruksi berkelanjutan.

Sebulan selepas bencana, pemerintah mulai menyadari perlunya lembaga ad hoc untuk memastikan rekonstruksi pascatsunami Aceh dan Nias dilakukan secara sistematis, transparan, dan berkelanjutan. Akhirnya, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2005, dibentuklah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Awalnya, pemerintah menunjuk salah satu mantan Menteri Pekerjaan Umum (PU) untuk memimpin BRR. Namun, tantangan besar yang mengharuskan pimpinan lembaga ini tinggal menetap di Aceh—bersama keluarganya—untuk memimpin langsung operasi masif rekonstruksi, rupanya membuat calon itu urung menerima amanah tersebut.

Dalam situasi genting dan membutuhkan tindakan segera, muncullah sosok Kuntoro Mangkusubroto, yang sebelumnya dikenal sebagai birokrat ulung, mantan menteri pertambangan dan energi, juga mantan direktur utama PLN. Meski namanya tak begitu dikenal luas publik saat itu, keahlian manajerialnya di bidang operasi dan organisasi diakui banyak kalangan. Di tangan Kuntoro-lah, BRR mulai menapaki jalur yang efektif dalam penanganan dan pemulihan Aceh pascatsunami.

Efektivitas dan Zero Corruption

Sebagai Kepala BRR, Kuntoro Mangkusubroto dihadapkan pada tantangan tak terbayangkan: mengoordinasikan ratusan hingga ribuan stakeholder, mulai dari lembaga pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga donor internasional, hingga NGO dan komunitas lokal. Dalam sebuah sesi wawancara beberapa tahun lalu, Kuntoro pernah menyebut bahwa “keterbukaan dan pengawasan yang ketat” menjadi dua pilar yang menopang kerja BRR. Ia sadar, dengan dana yang begitu besar serta potensi tumpang tindih kepentingan, transparansi adalah kunci utama.

Mengadopsi berbagai standar akuntabilitas dan tata kelola (governance) yang ketat, BRR berhasil menggalang dana internasional—baik hibah maupun pinjaman—dan menyalurkannya tepat sasaran. Setiap pos alokasi anggaran diaudit secara periodik. Strukturnya pun dilaporkan secara terbuka, sehingga meminimalkan ruang bagi penyelewengan. Kesungguhan mewujudkan “zero corruption” ini diakui banyak pihak, termasuk Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), serta lembaga donor internasional lainnya. Mereka memuji praktik tata kelola BRR sebagai salah satu contoh terbaik di dunia dalam penanganan bencana yang melibatkan dana multilateral berjumlah besar.

Efektivitas BRR juga terlihat dalam pencapaian konkret di lapangan. Dalam waktu kurang dari lima tahun, BRR dan mitra-mitranya berhasil membangun kembali lebih dari 120.000 rumah, ratusan sekolah dan puskesmas, memperbaiki jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya. Salah satu langkah strategis Kuntoro adalah mendelegasikan kewenangan secara desentralistis. Ia mendirikan kantor regional di beberapa kabupaten agar keputusan tak sepenuhnya terpusat di satu meja di Banda Aceh. “Masing-masing wilayah memiliki keunikan masalah, jadi harus diberikan otonomi tertentu,” tutur Kuntoro dalam beberapa kesempatan ceramah publik.

Strategi semacam ini terbukti mampu memangkas birokrasi berbelit, mempercepat proses pembangunan, sekaligus memberi ruang bagi partisipasi aktif warga setempat. Tak heran, banyak donor pun lebih leluasa menyalurkan bantuan mereka melalui mekanisme kolaboratif yang dikoordinasikan BRR.

Pujian Internasional: “Bolehkah Saya Pinjam Kuntoro?”

Keberhasilan BRR memulihkan Aceh dalam tempo yang relatif cepat dan dengan “zero corruption” bukan saja berbicara di tingkat nasional, melainkan juga menyentak perhatian global. Pujian berdatangan, mulai dari lembaga-lembaga internasional, media asing, hingga para kepala negara. Salah satu contoh paling ikonik adalah pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton.

Dalam perhelatan World Economic Forum (WEF) 2011 di Davos, Bill Clinton—yang saat itu tengah terlibat aktif menangani dampak bencana tsunami di Haiti—meminta waktu berdiskusi dengan Presiden SBY. Dari panggung yang diceritakan Presiden SBY, Clinton sempat berseloroh, “Bolehkah saya pinjam Kuntoro?” Ungkapan ini, meskipun dilontarkan dalam nada bercanda, mengindikasikan tingginya pengakuan dunia atas kepakaran dan keberhasilan Kuntoro dalam menata lembaga sekelas BRR.

Dalam acara peluncuran buku “Berenang di Segara Kuntoro”, Selasa, 17 Desember 2024, Presiden SBY kembali mengisahkan momen bersejarah itu. Dengan bangga, SBY menyatakan bahwa Indonesia pernah mengelola bencana besar seefektif BRR Aceh-Nias. Menurutnya, “Keberhasilan BRR adalah capaian luar biasa. Bukan hanya untuk Aceh, tapi untuk reputasi Indonesia sebagai bangsa yang mampu bangkit dari keterpurukan bencana.”

Mengapa Kesuksesan Ini Tak Bergaung di Dalam Negeri?

Jika di panggung internasional BRR dan Kuntoro Mangkusubroto begitu dipuja, lalu mengapa di dalam negeri gebrakan ini tak selalu terdengar atau mendapat apresiasi yang luas? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, secara sosiologis, masyarakat Indonesia cenderung lebih mudah mengingat kejadian tragis daripada pencapaian positif yang datang setelahnya. Fenomena “bad news is good news” masih dominan di media massa dan percakapan sehari-hari.

Kedua, beberapa tokoh berpendapat bahwa keberhasilan BRR tenggelam di tengah dinamika politik nasional. Masa jabatan BRR tergolong singkat—2005 hingga 2009—sementara isu politik nasional terus bergulir, meredupkan pemberitaan positif mengenai keberhasilan BRR. Selain itu, Kuntoro bukanlah figur politik yang aktif “menjual” pencapaiannya. Beliau lebih banyak berfokus pada kerja lapangan dan penguatan sistem, sehingga “kilau” prestasi BRR tidak selalu mencuat ke permukaan publik.

Ketiga, boleh jadi budaya penghargaan (culture of appreciation) kita sendiri masih rendah. Fenomena ini diamini sosiolog semacam mendiang Ignas Kleden, yang pernah menyatakan bahwa “masyarakat kita cenderung abai memberikan penghargaan bagi kerja-kerja teknokratik dan profesional, terutama yang berada di bawah gemuruh wacana politik”. Dengan kata lain, keberhasilan yang sifatnya teknokratis—terutama di bidang rehabilitasi dan rekonstruksi—kurang ‘menjual’ secara politik, sehingga cepat berlalu tanpa gaung panjang.

Pelajaran Berharga untuk Indonesia

Untuk membenahi kondisi ini, kita dapat mengambil beberapa langkah. Pertama, perlu dibangun budaya dokumentasi dan literasi sejarah. Pencapaian-pencapaian besar seperti yang dilakukan BRR seharusnya diabadikan dalam bentuk buku, dokumenter, maupun kajian akademik. Hal ini penting agar generasi mendatang memiliki rujukan ketika menghadapi situasi serupa. Peluncuran buku Berenang di Segara Kuntoro adalah satu contoh positif bagaimana sebuah pengalaman berharga didokumentasikan secara sistematis.

Kedua, pemerintah dan masyarakat sipil bisa bersama-sama mendorong penulisan modul atau kurikulum tentang penanganan bencana yang efektif. Kelas-kelas di perguruan tinggi, terutama di program studi manajemen bencana, administrasi publik, dan teknik sipil, dapat mengadopsi studi kasus BRR Aceh-Nias sebagai bahan ajar. Pendekatan ini akan melahirkan generasi profesional dan birokrat yang paham seluk-beluk penanggulangan bencana, dari tahap tanggap darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi jangka panjang.

Ketiga, pentingnya ruang publik untuk mengapresiasi setiap capaian kolektif. Baik itu museum digital, monumen peringatan, maupun forum-forum tahunan yang mengumpulkan para pelaku lapangan. Sebab, bencana tak selamanya dapat dihindari, tetapi cara kita menghadapinya selalu bisa ditingkatkan. Jika cerita sukses BRR tersebar luas dan difahami banyak pihak, maka ketika bencana besar kembali melanda—entah di mana pun di Indonesia—kita tak lagi memulai dari nol.

Terakhir, perlu ada inisiatif formal dari pemerintah untuk mengganjar penghargaan institusional terhadap lembaga ad hoc yang sukses. Misalnya, pemberian bintang jasa kepada figur-figur kunci di balik sukses BRR, atau mengadopsi praktik-praktik keterbukaan dan pengelolaan dana bencana ala BRR ke lembaga nasional yang permanen, seperti BNPB. Selain meningkatkan moral para pekerja kemanusiaan, hal ini juga menjadi pengingat bahwa kinerja hebat patut diberikan tempat khusus dalam sejarah bangsa.

Kini, 20 tahun pascatsunami Aceh, kita diingatkan kembali bahwa Indonesia pernah mengalami bencana paling dahsyat dalam sejarah modern, lalu berhasil bangkit secara mengagumkan berkat kerja keras banyak pihak. Salah satu pihak paling instrumental adalah BRR Aceh-Nias di bawah pimpinan Kuntoro Mangkusubroto. Keberhasilan ini diakui dunia, tetapi sayangnya masih kurang diapresiasi di negeri sendiri.

Bila kita ingin bertransformasi menjadi bangsa yang tanggap dan resilien menghadapi bencana, kisah sukses BRR harus direplikasi dan disebarluaskan. Dari proses seleksi pemimpin yang tepat, transparansi pengelolaan dana, keberanian menetap di lokasi bencana, hingga keteguhan melaksanakan nilai “zero corruption”. Semua itu tidaklah mudah, tetapi bukan berarti mustahil. Pengalaman Kuntoro Mangkusubroto dan timnya adalah bukti nyata.

Pada akhirnya, mari kita jadikan peringatan 20 tahun tsunami Aceh ini sebagai momen refleksi dan apresiasi. Refleksi untuk mengenang mereka yang menjadi korban, sekaligus apresiasi atas segala upaya yang berhasil menjadikan Aceh pulih kembali. Lebih dari itu, semoga kisah sukses BRR membawa kita pada kesadaran kolektif: bahwa di tengah segala tantangan dan potensi bencana, kita sebenarnya mampu bangkit dan membangun kembali—asal dilakukan dengan kepemimpinan yang amanah, tata kelola yang transparan, serta semangat gotong royong yang tak pernah padam. Semoga pelajaran ini terus kita ingat dan terapkan di setiap langkah, untuk Indonesia yang lebih tangguh.