Kanal

Mewujudkan Khaer Ummah – (Bagian 2)

Sabtu, 17 Sep 2022 – 06:20 WIB

Khaer ummah

ilustrasi (Foto: Istock)

Pada bagian pertama dari tulisan ini disebutkan bahwa membangun mindset atau wawasan yang benar tentang kehidupan dunia dan agama sekaligus, menjadi bagian dari pilar terpenting untuk terwujudnya Khaer Ummah (Umat terbaik).

Poin ketiga ini yang saya simpulkan dalam kata-kata “wawasan Iqra’”. Bahwa Umat ini harus kembali menyadari urgensi iqra tidak saja dalam agama. Tapi juga tidak kalah pentingnya pentingnya memiliki iqra’ dalam memahami kehidupan dunai kita. Tentu lebih khusus lagi ketika kita sadar bahwa dunia kita saat ini mengalami perubahan yang tidak disangka-sangka (unexpected change).

Keempat, Urgensi melakukan transformasi karakter. Tentu Karakter yang dimaksud mencakup Karakter individual maupun karakter sosial. Karakter ini yang disebut dalam agama dengan Akhlaq yang menjadi esensi religiositas seseorang.

Karakter (behavior) atau akhlak menjadi sangat esensi dalam ajaran agama. Bahkan menjadi penentu religiositas seseorang. Artinya untuk seseorang dianggap beragama secara baik banyak ditentukan oleh bagaimana seseorang itu mampu membuktikan ajaran ini dalam prilakunya, baik pada tataran individu maupun tataran sosialnya.

Dan karenanya semua aspek ajaran ini menjadi jembatan bagi terbentuknya akhlak itu. Ibadah-ibadah bahkan aspek imaniyah (keimanan) agama ini harus terbuktikan oleh Karakter. Yakin dengan Allah yang Maha melihat harusnya membangun karakter kejujuran. Sholat itu menjaga dari kekejian dan kemungkaran.

Realita itulah yang seolah disimpulkan oleh Rasulullah dalam haditsnya: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”. Rasulullah SAW sendiri dalam Al-Qur’an secara khusus dipuji karena ketinggian akhlaknya: “sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang tinggi).

Disadari atau tidak, saat ini memang salah satu krisis terutama Umat Islam adalah krisis Akhlaq. Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Umat tidak saja gagal membuktikan keindahan Islam. Tapi seperti yang disebutkan oleh seorang Ulama: hampir saja Islam ini tertutupi oleh prilaku Umat (yang buruk).

Pada tataran individu Umat cenderung membatasi Islam sebagai acuan ritual sempit yang seringkali bersifat sememonial dan simbolik. Tapi tidak memiliki makna-makna (realita) sosial yang nyata dalam kehidupan. Akibatnya ritual-ritual itu pada akhirnya mengantar kepada kebangkrutan seperti pada hadits Rasulullah (lihat hadits al-muflis).

Beragama yang demikian mengantar kepada apa yang saya sebut dengan “split personality” atau kepribadian yang terpecah. Kepribadian seperti ini lebih dikenal dengan “double standard personality” (kepribadian ganda). Di masjid-masjid atau di Mekah mereka adalah orang-orang yang religious. Ketika di pasar atau parlemen/kantor mereka kerap lebih buas dari hewan dalam prilaku/karakter.

Krisis Karakter Umat ini tentunya tidak saja pada tataran individu. Tapi juga pada tataran kolektif kebangsaan bahkan pada tataran global. Krisis Karakter/akhlak menjadikan justeru negara-negara yang non mayoritas Muslim, Selandia Baru misalnya, lebih Islami ketimbang banyak negara yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Oleh karenanya Karakter kolektif bangsa negara-negara mayoritas Muslim perlu direformasi. Saya tidak tahu apakah ini yang disebut “revolusi akhlak”. Tapi terlepas dari pemahaman politis, Umat ini perlu mepakukan revolusi akhlak itu.

Jika tidak, keindahan Islam yang menjadi atraksi dan faktor terutama ketertarikan orang kepada agama ini menjadi terhalangi. Dilema terbesar tentunya adalah pertanyaan sebagian mereka yang tertarik kepada agama ini: “jika saya masuk Islam, kira-kira Saya akan seperti siapa?”.

Pertanyaan ini harusnya direspon oleh Umat ini dengan: “lihat ke kami “. Karena kami adalah representasi (Syuhada) ajaran Islam yang indah. Islam yang damai, ramah, bersahabat. Tapi juga Islam yang tidak mudah luntur dan hanyut kepada hawa nafsu orang lain.

Karakter seperti itulah yang dikenal dengan Karakter “wasathiyah” yang menjadi Karakter dasar Umat. Bukankah Umat ini memang “ummatan wasathon? (Bersambung)….

Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button