Paruh pertama 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, utang baru mencapai Rp214,7 triliun. Lebih tinggi ketimbang semester I-2023 senilai Rp166,5 triliun. Sebentar lagi pergantian kepemimpinan, Sri Mulyani terus saja menumpuk utang.
Penarikan utang itu untuk menutup defisit APBN 2024 di paruh pertama, senilai Rp 77,3 triliun atau 0,34 persen dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, semester I-2023, APBN dalam posisi surplus Rp152,3 triliun, atau 0,71 persen dari PDB.
“Pembiayaan defisit melalui utang akan terus dikelola secara sangat hati-hati terutama dalam lingkungan global yang sangat dinamis,” kata Sri Mulyani, Jakarta, dikutip Rabu (10/7/2024).
“Kita selalu menggunakan pendekatan yang opportunistic, namun di sisi lain juga melihat berbagai risiko dan kesempatan yang muncul dari sisi timing penerbitan maupun komposisi dari surat berharga negara baik dari sisi maturitinya, tenornya, maupun dari sisi komposisi nilai tukarnya,” tegasnya.
Meski pembiayaan utang naik pada Semester I-2024, Sri Mulyani menegaskan porsinya masih 33,1 persen dari total kebutuhan penarikan pembiayaan utang pada tahun ini yang sebesar Rp648,1 triliun. Sedangkan pada tahun lalu, porsinya mencapai 39,5 persen dari kebutuhan Rp421,2 triliun.
Perincian dari total pembiayaan utang bersumber dari penerbitan Surat Berharga Negara atau SBN sebesar Rp206,2 triliun. Atau 30,9 persen dari target penerbitan SBN pada 2024 sebesar Rp666,4 triliun. Pada 2023 nominal SBN mencapai Rp157,9 triliun, atau 36,1 persen dari target Rp 437,8 triliun.
“-Jadi masih sesuai on track, meskipun secara nominal dalam hal ini Rp 206,2 triliun lebih tinggi dari tahun lalu Rp 157,9 triliun, tapi kita dalam hal ini kita juga terus menyesuaikan strategi dengan jatuh temponya utang. Dan juga dinamika dari pasar surat berharga, baik domestik, maupun dari global,” ungkap Sri Mulyani.
“Kenaikan ini tidak mempengaruhi terlalu signifikan terhadap yield dan juga beban utang kita, karena kita mampu meminimalkan,” tuturnya.
Adapula yang bersumber dari pinjaman senilai Rp8,5 triliun, membengkak 46,4 persen dari rancangan penarikan utang 2024 yang minus Rp18,4 triliun. Pada 2023, membengkak 51,8 persen menjadi Rp8,6 triliun dari rancangan kebutuhan penarikan pinjaman minus Rp16,6 triliun.