Sejumlah pelaku industri tembakau memprotes Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, yang dinilai melenceng dari UU No 17 tahun 2023 tentang Kesehatan yang merupakan aturan dasarnya.
Salah satu yang paling mencolok adalah pengaturan kemasan polos untuk produk tembakau dan rokok elektronik. Padahal UU No 17 tahun 2023, maupun aturan turunan PP No 28 tahun 2024, tidak melarang penggunaan desain pada kemasan produk.
Sekretaris Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Suryadi Sasmita menyarankan agar permenkes tersebut, dievaluasi sebelum dirumuskan. Dengan melibatkan kalangan industri tembakau dalam pembahasan RPP tersebut.
“Harus ada keterlibatan dua belah pihak yang secara seimbang. Jangan sampai hanya memenangkan satu dengan yang lain. Karena situasi Indonesia saat ini sedang cukup kompleks,” ujar Suryadi, Jakarta. Selasa (3/9/2024).
Suryadi menjelaskan, masalah kompleks itu berdampak pada pelaku industri rokok. Diantaranya petani tembakau-cengkeh, produsen rokok, hingga buruh kerja rokok.
“Kita apresiasi upaya Kemenkes mengadakan public hearing. Tapi perlu dipertimbangkan bahwa kondisi Indonesia berbeda dengan negara lain. Misalnya ASEAN. Data kita ada 6 juta tenaga kerja dalam industri tembakau yang akan terdampak,” lanjutnya.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi menambahkan, warna serupa pada kemasan rokok dikhawatirkan membuka celah penyebaran rokok ilegal. Hal ini hanya akan melukai industri lebih jauh, dan di sisi lain penerimaan cukai negara juga akan ikut merosot tajam.
“Nanti rokok ilegal yang akan makin bertebaran di pasaran. Rokok ilegal kan gak pakai kemasan apapun jadi. Nah kemudian secara umum, makin ketatnya regulasi di sektor ini ya akan makin berat bagi industri,” ucap Benny.
Ia pun mengingatkan bahwa cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) merupakan penyumbang terbesar penerimaan cukai di Indonesia. Hingga Juli 2024, penerimaan cukai rokok sebesar Rp111,3 triliun.
Maka itu, kata dia, jangan sampai Indonesia disamakan dengan negara-negara lain yang tidak ada industri, tidak ada perkebunan tembakaunya.
“Industri tembakau di Indonesia itu beda. Cukai kita masih hampir 10 persen dari penerimaan negara. Yang lain kan nggak. Jadi nggak bisa disama-samakan,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budiman menilai, Permenkes ini dapat membunuh rantai pasok hulu dan hilir industri rokok.
“Nah produk kalau penjualannya dibatasi, kan pada akhirnya nanti pelan -pelan ya itu mati. Ya, pemutusan hubungan kerja, terus penyerapan bahan baku, cengkeh sama tembakau berkurang. Ya otomatis kan, lama -lama kan industri mati,” paparnya.
Ketut pun mempertanyakan solusi dari pemerintah dalam menangani masalah ini. Khususnya, keberlangsungan hidup para petani tembakau hingga cengkeh. “Kalau pabriknya tutup, bagaimana. Kalau petani, cengkehnya sudah umur 50 tahun, mau dijual ke mana,” ucapnya.