Sebagai kota besar Jakarta mempunyai masalah krusial yang harus segera diperbaiki oleh gubernur dan wakil gubernur terpilih di Pilkada 2024 nanti.
Jakarta, dengan pertumbuhan populasi yang pesat, kemajuan ekonomi yang cepat, dan tantangan lingkungan yang kompleks, harus menghadapi serangkaian tantangan yang perlu diatasi secara berkelanjutan.
Masalah krusial Jakarta ini seolah menjadi momok yang mesti dihadapi warga setiap harinya, dan ini yang mesti menjadi catatan bagi para pasangan calon (paslon) Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta terpilih nantinya.
Untuk diketahui, tiga pasangan calon kini sudah memiliki nomor urut masing-masing. Ridwan Kamil- Suswono mendapat nomor urut 1. Sedangkan Dharma Pongrekun-Kun Wardhana nomor urut 2 dan paslon dari PDIP Pramono Anung-Rano Karno mendapatkan nomor urut 3.
Lantas masalah apa saja yang mesti jadi pekerjaan rumah para cagub-cawagub Jakarta? Dirangkum Inilah.com dari berbagai sumber berikut masalah krusial Jakarta.
Masalah Krusial Jakarta:
1. Kemacetan
Salah satu persoalan utama yang menjadi sorotan dari Jakarta yakni soal kemacetan lalu lintas.
Masalah kemacetan ini tidak hanya menghambat mobilitas penduduk, tetapi juga berdampak negatif pada ekonomi, lingkungan, dan kualitas hidup secara keseluruhan.
Berdasarkan data yang dirilis TomTom Traffic Index tahun 2023, kemacetan Jakarta berada di peringkat 30 dari 387 kota di dunia.
Angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan pada 2022 saat Jakarta berada di urutan ke-29.
Meski peringkatnya turun, menurut data TomTom, waktu tempuh perjalanan di Jakarta pada 2023 justru bertambah 40 detik.
Adapun salah satu faktor yang menyebabkan hal ini tidak kunjung teratasi adalah ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi.
2. Banjir
Selain kemacetan, Jakarta juga dikenal dengan persoalan banjir yang tak pernah tuntas.
Saat memasuki bulan penghujan, beberapa daerah di kawasan Jakarta selalu digenangi air dan membuat masyarakat harus mengungsi ke tempat yang lebih aman
Pembangunan yang tidak terkendali, kurangnya sistem drainase yang memadai, dan penurunan kualitas lingkungan merupakan faktor utama yang menyebabkan banjir menjadi “makanan sehari-hari” bagi penduduk Jakarta.
3. Polusi Udara
Kualitas udara di Jakarta juga saat ini berada dalam kategori yang tidak sehat. Bahkan, tren polusinya 10 kali lebih buruk dari batas aman yang ditentukan WHO, yakni 5 mikrogram per meter kubik.
Emisi kendaraan bermotor, industri, dan pembakaran sampah menyebabkan tingkat polusi udara yang tinggi di kota ini.
Dampak buruk dari polusi udara terhadap kesehatan manusia sangatlah signifikan, dengan meningkatnya risiko penyakit pernapasan dan gangguan kesehatan lainnya
4. Ketersediaan Air Bersih
Ketersediaan Air Bersih menjadi salah satu permasalahan klise yang terjadi di ibu kota.
Dengan populasi 11 juta penduduk dan terus bertambah setiap tahunnya, kekhawatiran akan masa depan ketersediaan air bersih di Jakarta selalu menjadi momok bagi pemerintah dan masyarakat.
![kemiskinan jakarta.jpg](https://i1.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/09/kemiskinan_jakarta_b18ac8b640.jpg)
Air tanah di beberapa wilayah pesisir Jakarta Barat dan Jakarta Utara, misalnya, masih memiliki kandungan bakteri (total coliform) E. Coli, serta kadar salinitas yang tinggi. Intrusi air laut dari Teluk Jakarta ke air tanah yang memperburuk persoalan air bersih.
Kualitas air tersebut masih jauh dari layak konsumsi, dan dapat menyebabkan penyakit berbahaya, bahkan dapat mendorong tingkat tengkes (stunting) pada anak-anak.
Berdasarkan data dari PAM Jaya, hanya sekitar 67 persen masyarakat yang sudah mendapatkan pasokan air bersih, sedangkan 33 persen lainnya masih bergelut dengan air keruh dan berbau.
5. Ketimpangan Sosial
Jakarta juga menghadapi tantangan sosial, seperti ketimpangan ekonomi yang signifikan dan kesulitan akses terhadap kehidupan yang layak.
Ketimpangan sosial ini dapat menyebabkan ketidakadilan dalam pendistribusian sumber daya, kesenjangan ekonomi, dan perpecahan sosial yang berpotensi mengganggu stabilitas kota.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, ketimpangan sosial masih tinggi. Naiknya tingkat ketimpangan sekaligus dibarengi dengan meningkatnya indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan.
BPS mencatat jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada Maret 2024 sebesar 464,93 ribu orang, dengan garis kemiskinan per kapita per bulan mencapai Rp 825.288.
Garis kemiskinan makanan menyumbang 69,27 persen terhadap garis kemiskinan Maret 2024, dengan beras sebagai komoditas penyumbang terbesarnya.
Sementara itu, garis kemiskinan per rumah tangga miskin di DKI Jakarta sebesar Rp 4.060.417
6. Permasalahan Hunian
Hingga kini hunian yang layak di DKI Jakarta hanya menjadi mimpi semata. Bahkan program DP 0% dari pemerintah tidak mampu menjawab keresahan warga untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak.
Menurut data World Population Review, pada 2024 ini penduduk Jakarta sudah berada di angka 11,4 juta, naik sekitar 200 ribu dari tahun 2023. Kenaikan yang cukup signifikan tentunya berdampak kepada backlog di Jakarta atau kesenjangan antara total hunian terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), DKI Jakarta termasuk provinsi dengan persentase rumah tangga yang menempati layak huni kurang dari 50%.
Tepatnya hanya 36,23% pada 2022, berada di posisi terendah nomor dua di Indonesia. Ini berarti sekitar 7 dari 10 rumah tangga di Indonesia tinggal di rumah tidak layak huni.
Tak hanya itu, lebih dari 10% rumah tangga di Jakarta tinggal di rumah kumuh, tepatnya sebesar 18,82% pada 2022 dan menjadi tertinggi nomor tiga di Indonesia.