Market

7 Tahun Menjabat, Analis: Jokowi Boros Utang, Wong Cilik Makin Miskin

Hari ini, begitu marak pemberitaaan soal 7 tahun pemerintahan Jokowi berhasil membangun 1.900 kilometer jalan tol. Tapi jangan lupa, utang rezim ini terbesar dalam sejarah.

Kepada Inilah.com, Kamis (14/4/2022), analias ekonomi dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra justru mempertanyakan janji Jokowi saat kampanye soal utang. Dari rekam jejak digital, pada 20 Agustus 2014, Jokowi menyatakan tidak akan menambah utang untuk memperkuat APBN.

Kini, tujuh bahkan hampir delapan tahun berlalu, pernyataan itu berbalik. Utang pemerintahan Jokowi justru yang paling jumbo di antara presiden yang ada.

Berdasarkan Statistik Utang Sektor Publik Indonesia Tahun 2014, posisi utang pemerintah pusat (bruto) pada akhir 2014 sebesar US$209 miliar, atau dengan kurs saat itu setara Rp2.599 triliun. “Setelah menjabat lebih dari tujuh tahun, posisi utang sektor publik Indonesia hingga akhir Februari 2022 berada pada posisi Rp 7.014 triliun. Atau meningkat 170 persen bila dibandingkan akhir 2014,” papar Gede.

Selama menjabat, menurutnyam Jokowi telah menambah utang sektor publik sebesar Rp4.415 triliun. Pertambahan utang di era Jokowi, jauh lebih besar ketimbang akumulasi utang seluruh Presiden Republik Indonesia.

Namun, jumlah ini belum ditambah dengan utang BUMN. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi pada 2012, BUMN secara legal tidak dikategorikan sebagai sektor publik. Logika hukum seperti ini boleh saja diterima, tapi faktanya BUMN bila merugi selalu ditalangi oleh Pemerintah, utangnya tetap dibayari publik.

Pertambahan utang BUMN selama pemerintahan Jokowi juga terjadi secara cukup dramatis. Pada akhir tahun 2014, posisi utang BUMN (non lembaga keuangan) sebesar US$40 miliar atau Rp504 triliun.

Setelah delapan tahun, kata Gede, posisi utang BUMN pada awal 2022 mencapai Rp1.012 triliun. Artinya terjadi peningkatan utang BUMN sebesar 100 persen bila dibandingkan posisi awal Jokowi menjabat. “Bila dijumlahkan, pertambahan utang sektor publik dan BUMN selama Jokowi memerintah adalah sebesar Rp4.923 triliun,” ungkapnya.

Lalu, dengan tambahan utang sebesar Rp4.923 triliun ini apa yang sudah didapatkan oleh Bangsa dan Rakyat Indonesia? “Kita akan lihat. PDB perkapita Rakyat Indonesia hanya bertambah dari US$ 3.491 (Rp 41,8 juta) di tahun 2014 menjadi US$ (Rp 62,2 juta), atau meningkat 41 persen. Yang artinya setiap tahunnya, PDB perkapita hanya tumbuh rata-rata 5,8 persen. Coba bandingkan dengan persentase peningkatan utang sektor publik yang mencapai 170 persen dalam tujuh tahun atau 25 persen pertahun, jelas tidak sebanding,” imbuh Gede.

Bagaimana dengan angka kemiskinan? Menurut Gede, pada akhir 2014, angka kemiskinan sebesar 27,7 juta jiwa (10,96 persen penduduk). Pada 2021, angka kemiskinan sebesar 26,6 juta (9,7 persen penduduk). Selama tujuh tahun berkuasa, Jokowi hanya berhasil menurunkan kemiskinan sebanyak 1,1 juta orang. “Sangat kecil, tidak ada artinya dengan banyaknya utang yang dibuat Jokowi,” ungkapnya.

Juga bagaimana dengan angka pengangguran. Pada akhir tahun 2014, angka pengangguran adalah sebesar 7,2 juta jiwa. Sementara pada akhir tahun 2021, angka pengangguran adalah sebesar 9,1 juta jiwa. Selama tujuh tahun pemerintahan Jokowi, pengangguran malah meningkat 1,9 juta jiwa! Artinya utang yang dibuat Pemerintahan Jokowi sama sekali tidak berdaya untuk menghadapi penambahan pengangguran yang terjadi selama pemerintahannya.

Kesimpulannya, penambahan utang sebesar Rp4.923 triliun selama pemerintahan Jokowi, tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pendapatan per kapita hanya naik 5,8 persen setahun, sementara utang bertumbuh 25 persen setahun. “Kemiskinan hanya turun 1,1 juta jiwa, sementara pengangguran malah bertambah banyak 1,9 juta jiwa! Ini membuktikan terjadi inefisiensi yang sangat massif dalam pengelolaan utang pemerintah,” ungkapnya.

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button