73 Tahun Korps Baret Merah: Ketika Komandan Pasukan Melangkah ke Istana


Peringatan hari jadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) ke-73 tahun ini memiliki makna tersendiri, ketika salah seorang komandannya, yakni Prabowo Subianto (Danjen Kopassus 1995–1998), menjadi orang nomor satu di negeri ini. Perjalanan panjang Prabowo, baik sebagai komandan pasukan maupun politisi, merupakan epik tersendiri yang kelak menjadi narasi abadi.

Menjadi Danjen Kopassus bisa dikatakan sebagai puncak karier seorang perwira infanteri, khususnya bagi mereka yang pernah berdinas di Korps Baret Merah. Memang masih ada satu posisi lagi, yaitu Pangkostrad. Namun, menjadi Danjen Kopassus tetap memiliki nuansa tersendiri, karena tradisi yang berlangsung selama ini. Posisi Danjen Kopassus hanya bisa dijabat oleh perwira (infanteri) yang memiliki kualifikasi Komando, dan pernah berdinas di Kopassus, setidaknya sampai posisi Danyon.

Sementara untuk menjadi Pangkostrad, memiliki ruang pilihan yang lebih longgar—bisa direkrut dari perwira yang pernah berdinas di satuan mana pun. Itu sebabnya, posisi Pangkostrad terkesan lebih politis, setidaknya dibandingkan Danjen Kopassus. Secara kebetulan, Prabowo sudah pernah memegang dua jabatan itu, dan itu sudah menjadi sejarah. Bila selaku Danjen Kopassus dan Pangkostrad tinggal menjadi masa lalu, maka selaku Presiden RI, Prabowo tengah menorehkan sejarahnya sendiri.

Kesempatan pernah menjadi Danjen Kopassus merupakan catatan emas bagi yang bersangkutan, yang manfaatnya masih bisa dipetik hingga puluhan tahun kemudian, selepas meninggalkan Mako Kopassus di Cijantung. Menjadi anggota Kopassus seolah memiliki privilege, yang biasanya dekat dengan kekuasaan—seperti kedekatan hubungan antara Presiden Prabowo dan Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya (Akmil 2011), yang juga perwira dari Korps Baret Merah.

Posisi Kopassus yang strategis sempat memunculkan pameo bahwa sang pemimpin (baca: Presiden RI) menitipkan separuh nyawanya kepada Danjen Kopassus, sementara separuhnya lagi kepada Komandan Paspampres—yang umumnya juga dijabat perwira asal Baret Merah. Perjalanan Kopassus (berdiri 16 April 1952) adalah sebuah narasi besar, sebagaimana terlihat pada figur Prabowo. Keberadaan Prabowo sebagai Presiden ibarat raport terbuka bagi performa Kopassus.

Terinspirasi Sutan Sjahrir

Hidup manusia memang tidak bisa diramalkan. Mungkin sudah menjadi takdir Prabowo untuk menjadi orang besar. Kini, Prabowo kembali menjadi komandan atau pemimpin—bukan sebatas memimpin Kopassus di Cijantung (Jakarta Timur), namun selaku “Danjen” seluruh rakyat Indonesia, melalui “markas komando” di Istana.

Mungkinkah ini kebetulan belaka? Bahwa seorang komandan pasukan, dengan segala karakteristik khasnya, kembali memperoleh kesempatan untuk memimpin bangsa ini. Kita pernah memiliki presiden dengan tipe intelektual, yakni B.J. Habibie dan Gus Dur, yang ternyata hanya berkuasa sebentar. Itu bisa dijadikan penanda bahwa bangsa ini lebih senang pada pemimpin berlatar belakang militer.

Apa yang menjadi aspirasi rakyat, semesta turut mendukung. Dengan berbagai cara akhirnya Prabowo bisa menjadi presiden. Kita masih bisa berharap, saat berkuasa nanti, Prabowo tidak bergaya militeristik seperti Soeharto—berkat adanya atmosfer demokrasi dan kekuatan civil society.

Secara singkat bisa dikatakan, bila pemimpin tipe intelektual pernah “dinafikan” bangsa ini, mungkin peradaban kita memang belum sampai untuk dipimpin seorang intelektual. Peradaban kita masih pada taraf lebih senang dipimpin oleh figur militer yang enggan berdialog—langsung perintah eksekusi. Kita belum seperti Singapura atau Jepang, yang kecil kemungkinan dipimpin oleh figur militer.

Latar belakang keluarga Prabowo yang dekat dengan sosialisme kiranya bisa memberi warna humanisme pada pemerintahannya. Sudah umum diketahui, Pak Cum (ayah Prabowo) sangat dekat dengan Sutan Sjahrir, dan itu sebabnya terafiliasi pada PSI (Partai Sosialis Indonesia). Kendati tipis-tipis, tentu ada jejak Pak Cum pada Prabowo, utamanya dalam ideologi sosialisme. Dalam sebuah kesempatan, Prabowo pernah menyatakan dirinya ingin menjadi tokoh sosialis skala global, atau setidaknya di Asia.

Dalam Simposium tentang Kesulitan-Kesulitan Zaman Peralihan Sekarang (PSI, 1952), Sutan Sjahrir menyatakan: “…bahwa kemerdekaan yang kita peroleh itu, hingga sekarang hanya membawa kemajuan dan perbaikan nasib untuk sebahagian kecil daripada bangsa kita, yaitu kaum politik dan kaum terpelajar….”

Ungkapan Sjahrir yang kuat nuansa sosialisnya ini bisa jadi telah menginspirasi Prabowo ketika meluncurkan kebijakan atau program populis seperti bantuan sosial, program makan bergizi gratis (MBG), serta penguatan UMKM dan koperasi. Ini selaras dengan harapan Sjahrir agar arti kemerdekaan juga dinikmati rakyat kebanyakan.

Dari Cijantung ke Istana

Salah satu fenomena menarik adalah para perwira yang pernah menjadi Danjen Kopassus umumnya memiliki kharisma—figur yang sudah menonjol sejak awal dan kerap diekspos media. Sebagai satuan elite, wajar bila Kopassus selalu menjadi sorotan, baik oleh pimpinan maupun masyarakat awam.

Setelah hampir tiga dekade meninggalkan Cijantung, apakah Prabowo sudah benar-benar melepaskan atmosfer itu saat resmi memimpin negeri kelak? Saya menduga, Prabowo tidak bisa lepas sepenuhnya dari masa lalu. Gaya itu akan kembali diulang saat ia berkantor di Istana—tentu dengan modifikasi yang relevan.

Sebagai penyegar ingatan, gebrakan Prabowo saat menjadi Danjen Kopassus (1995–1998) yang berpotensi diulangi adalah reorganisasi besar-besaran satuan itu pada Juni 1996. Ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan Prabowo bersifat firm, terencana, dan cenderung top-down.

Bisa jadi, Prabowo akan melakukan perombakan kelembagaan negara secara besar, seperti saat memekarkan sejumlah kementerian yang kemudian melahirkan istilah “kabinet gemuk”. Untuk semua gagasan besar itu, Prabowo ingin tetap otonom. Kecil kemungkinan mantan Presiden Jokowi akan dilibatkan dalam mendesainnya.

Kesiapan Prabowo untuk melepaskan bayang-bayang Jokowi—termasuk seniornya di Kopassus, Luhut Binsar Pandjaitan (Akmil 1970)—bisa dilihat dari pidato perpisahan Letjen TNI Prabowo selaku Danjen Kopassus (Maret 1998): “Kita tidak akan pernah menyerah, kita tidak akan pernah tunduk kepada tekanan dan permainan dari pihak manapun. Dalam keadaan yang sulit, hanya yang kuat dan berani yang akan tampil.”

Momen lain adalah saat ia dilantik sebagai Dansesko TNI di Bandung (Juni 1998), tak lama sebelum pensiun dini. Saat itu, kesan temaram menyelimuti acara, seolah menyiratkan kegalauan akan berpisah dari dunia militer—terutama dari Kopassus, satuan yang sangat dicintainya.

Kini, ketika Prabowo sudah menjadi Presiden, markasnya bukan lagi di Cijantung, tetapi di Istana Merdeka. Namun semangat Cijantung tampaknya akan terus hadir dalam cara ia memimpin bangsa.