Drajad Wibowo Akui Food Estate Bukan Solusi Ideal untuk Ketahanan Pangan, Tapi…

Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Drajad Hari Wibowo mengakui bahwa program food estate bukan solusi yang ideal untuk mewujudkan ketahanan pangan di masa depan.

“Food estate maybe not an ideal solution, but that’s maybe not the best among the worst. Dan kami memang mau tidak mau, food estate harus dilakukan,” tegas Drajad dalam diskusi bertajuk ‘Nasib Transisi Ekonomi Hijau di Tahun Politik’ di William’s Restaurant, Jakarta Selatan, Selasa (19/12/2023).

“Karena kita sebagai orang pertanian berpikir kalau memang ada tanah yang memang tidak ada konfliknya, kurang subur, tapi bisa kita tanami, akan kita coba,” sambung mantan Anggota DPR asal PAN itu.

Ekonom pendiri Indef ini, menyinggung program lumbung pangan atau food estate ini, lebih kental ‘gimmick’ politik ketimbang realisasinya. “(Ada yang bilang) Realisasinya sudah ada serapan sampai triliunan segala macam, tidak ada duit triliunan di food estate itu,” jelasnya.

Kata Dradjad, dana yang dialokasikan untuk program food estate berasal dari Kementerian Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat (PUPR). Sebagian pula berasal dari anggaran Kementerian Pertanian (Kementan). Yang jelas, angkanya tidaklah seheboh pemberitaan beberapa media.  “Itu hitungannya hanya beberapa ratus miliar, belum sampai triliun rupiah,” kata Dradjad.

Bahkan, kata Drajad, anggaran dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang ditunjuk menggarap food estate di Kalimantan Tengah (Kalteng), belum mengucur. Karena, masih terdapat masalah secara kelembagaan.

Dari berbagai informasi tersebut, kata Dradjad, proyek food estate ini layak dilanjutkan, Jika tidak justru menimbulkan pertanyaan baru. “Pertanyaan saya, luasan tanah di Jawa semakin berkurang. Kita mau menanam di mana lagi? Terus apakah kita tidak mau nanam, apa kita mau city farming,” ucap dia.

Kalau pilihannya food estate disetop, digantikan dengan konsep city farming. maka harus dilakukan kajian yang mendalam. “Kalau mau city farming, oke kita rumuskan program itu. Akan tetapi, rumuskan juga dampaknya. Di sisi lain, kita perlu memberi makan masyarakat,” tandasnya.

Sebagai informasi, program food estate menjadi sorotan publik, bahkan dianggap sebagai program gagal. Dalam pelaksanaannya, program ini dinilai tidak transparan, baik secara anggaran dan keberhasilannya.

Salah satu penanggung jawab program ini adalah Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang sekarang menjadi calon presiden (capres) nomor urut 2. Padahal, seharusnya program ini dipegang Kementerian Pertanian (Kementan).

Greenpeace Indonesia tegas-tegas menyebut program food estate era Jokowi adalah proyek gagal. Hanya menghasilkan kerusakan hutan alias deforestasi. Selian itu, merusakkan lahan gambut dan melindas tanah adat di Kalteng. 

Lembaga pemerhati lingkungan dunia ini, menyebut program food estate berupa tanaman singkong di Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, gagal total. Daerah lain pun, sami mawon. Tanamannya gagal tumbuh. Ditengarai, proyek ini tidak didasari penilaian lingkungan yang kredibel.

Asal tahu saja, program food estate tersebar di empat provinsi, yakni Kalteng, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua. Program ini masuk Proyek Stategis Nasional (PSN) dengan anggaran Rp1,9 triliun pada 2020-2021. Sementara pada 2022, anggarannya bengkak menjadi Rp4,1 triliun.

Sumber: Inilah.com