Bau apak dalam pengadaan impor beras menyeruak. Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Bulog ditengarai melakukan praktik bisnis yang tak sehat. Dua lembaga yang bertanggung jawab atas impor beras ini dinilai tidak proper dalam menentukan harga, sehingga terdapat selisih harga beras impor sekitar 82 dolar Amerika Serikat (AS) per ton dari harga penawaran.
Berdasarkan data BPS, impor beras ke Indonesia periode Januari-Mei 2024 mencapai 2,2 juta ton. Dengan angka ini, selisih harga impor dengan harga penawaran diperkirakan mencapai 180,4 juta dolar AS atau sekitar Rp2,7 triliun (kurs Rp15 ribu per dolar AS)
Dokumen penawaran harga (Letter of Offer) salah satu pemasok beras asal Vietnam yang diperoleh Inilah.com menunjukkan, harga beras yang ditawarkan 538 dolar AS per ton dengan skema impor FOB (Freight On Board). Sementara untuk metode CIF (Cost, Insurance and Freight) harganya 573 dolar AS per ton.
Namun dalam dokumen realisasi impor, harga beras yang dipilih jauh lebih tinggi. Untuk LOT 13 tujuan Pelabuhan Tanjung Priok, Kijing, dan Pelabuhan Ambon misalnya, harga per ton beras tercatat 660 dolar AS (CIF). Setidaknya ada 15 LOT dalam dokumen tersebut, rata-rata selisihnya mencapai 82 dolar AS per ton. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa Bulog dan Bapanas tidak memilih harga yang lebih murah?
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menyatakan, dugaan praktik mark up impor sudah lama terjadi dan memang jadi bancakan oknum pemerintahan bersama para mafia.
“Sebenarnya isu mengenai dugaan mark up impor kan sudah sering kita dengar, itu lah makanya impor itu tidak pernah berhenti, karena diduga, ini perlu dicatat benar ya, diduga ini adalah bagian dari permainan,” kata Piter kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, dikutip Kamis (4/7/2024).
Ia menyatakan, jangan heran jika para oknum pejabat ketagihan impor karena memang ini adalah cara mudah untuk mendapatkan keuntungan besar dengan cepat.
“Siapa yang diuntungkan? Ya banyak pihak. Yang bermain itu tidak satu orang, importirnya, yang memberikan izin impornya kan sudah sama-sama tahu itu. Makanya beberapa kali pejabat-pejabat kita ketangkap, masalah impor daging sapi lah, impor beras,” ujarnya.
Menurutnya, rakyat adalah pihak yang paling dirugikan. Karena ujungnya itu adalah menyebabkan kenaikan harga, inflasi, serta kerugian perekenomian yang lebih besar lainnya. “Jadi ruginya tidak sekadar jutaan dolar,” tutur dia.
Ia menyayangkan, lahan basah yang dipegang Bapanas dan Bulog ini tidak diiringi dengan pengawasan ketat. Piter mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera turun tangan.
“Sudah pasti hal itu (menyebabkan kerugian negara). Ini kan bagian dari korupsi, ini tindakan korupsi yang kita semua mengatakan harus diberantas, karena merugikan negara, merugikan semua,” ucap Piter.
Bapanas-Bulog Diadukan ke KPK
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi diadukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan mark up (selisih harga) impor 2,2 juta ton beras senilai Rp2,7 triliun. Keduanya juga dilaporkan dalam dugaan kerugian negara akibat demurrage (denda) impor beras senilai Rp294,5 miliar.
Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto yang melaporkan kasus ini menemukan indikasi praktik tak sehat di tubuh Bapanas dan Bulog. Hari menilai, dua lembaga yang bertanggung jawab atas impor beras ini tidak proper dalam menentukan harga, sehingga terdapat selisih harga beras impor yang sangat signifikan.
“Harganya jauh di atas harga penawaran. Ini menunjukkan indikasi terjadinya praktik mark up. KPK harus bergerak dan memeriksa Kepala Bapanas dan Dirut Bulog, ” ujar Hari Purwanto di depan Gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/7/2024).
Dia mengungkapkan data yang menunjukkan bagaimana praktik dugaan mark up ini terjadi. “Ada perusahaan Vietnam bernama Tan Long Group yang memberikan penawaran untuk 100.000 ton beras seharga 538 dolar AS per ton dengan skema FOB dan 573 dolar AS per ton dengan skema CIF,” ucapnya.
Namun sejumlah data yang dikumpulkan menyebut, harga realisasi impor beras itu jauh di atas harga penawaran. Dugaan mark up ini juga diperkuat dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pada Maret 2024, Indonesia sudah mengimpor beras sebanyak 567,22 ribu ton atau senilai 371,60 juta dolar AS.
Artinya Bulog mengimpor beras dengan harga rata-rata 655 dolar AS per ton. Dari nilai ini, tutur Hari, ada selisih harga atau dugaan mark up senilai 82 dolar AS per ton.
“Jika kita mengacu harga penawaran beras asal Vietnam, maka total selisih harga sekitar 180,4 juta dolar AS. Jika menggunakan kurs Rp15.000 per dolar, maka estimasi selisih harga pengadaan beras impor diperkirakan Rp2,7 triliun,” kata Hari.
Terkait demurrage, Hari menduga dugaan negara merugi Rp294,5 miliar, akibat tertahannya 490 ribu ton beras impor Bulog di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, pada pertengahan hingga akhir Juni 2024. Atas dua aduan ini, Hari meminta KPK dapat segera memeriksa Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pengadaan impor beras.
“Kami berharap laporan kami dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan untuk Bapak Ketua KPK RI dalam menangani kasus yang kami laporkan,” tutur Hari.