DPR Didesak Bentuk Pansus, Usut Dugaan Korupsi Impor Beras Libatkan Bapanas-Bulog


DPR didorong membentuk Panitia Khusus (Pansus) terkait kekisruhan soal dugaan mark up (selisih harga) impor 2,2 juta ton beras yang melibatkan Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Bulog.

“Saya mendukung dibentuknya Pansus oleh DPR untuk melakukan pendalaman terkait dengan proses dan penetapan kuota impor beras Bulog,” kata Direktur Rumah Politik Indonesia Fernando Emas, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (5/7/2024).

Pansus itu, kata dia, diperlukan guna mendalami dugaan mark up impor beras agar tak ada segelintir pihak yang dengan sengaja menikmati kebijakan impor beras tersebut. “Jangan-jangan ada pihak tertentu yang memang sangat menikmati kebijakan impor beras,” ucapnya.

Menurutnya, pembentukan Pansus tersebut diperlukan untuk memperbaiki tata kelola sektor pertanian agar ke depannya lebih berpihak kepada petani. “Jangan sampai negara hanya mengandalkan impor dan tidak melibatkan petani difasilitasi untuk menjaga ketersediaan pangan dalam negeri,” ujarnya.

Diketahui, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi diadukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan mark up (selisih harga) impor 2,2 juta ton beras senilai Rp2,7 triliun. Keduanya juga dilaporkan dalam dugaan kerugian negara akibat demurrage (denda) impor beras senilai Rp294,5 miliar.

Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto yang melaporkan kasus ini menemukan indikasi praktik tak sehat di tubuh Bapanas dan Bulog. Hari menilai, dua lembaga yang bertanggung jawab atas impor beras ini tidak proper dalam menentukan harga, sehingga terdapat selisih harga beras impor yang sangat signifikan.

“Harganya jauh di atas harga penawaran. Ini menunjukkan indikasi terjadinya praktik mark up. KPK harus bergerak dan memeriksa Kepala Bapanas dan Dirut Bulog, ” ujar Hari Purwanto di depan Gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/7/2024).

Dia mengungkapkan data yang menunjukkan bagaimana praktik dugaan mark up ini terjadi. “Ada perusahaan Vietnam bernama Tan Long Group yang memberikan penawaran untuk 100.000 ton beras seharga 538 dolar AS per ton dengan skema FOB dan 573 dolar AS per ton dengan skema CIF,” ucapnya.

Namun sejumlah data yang dikumpulkan menyebut, harga realisasi impor beras itu jauh di atas harga penawaran. Dugaan mark up ini juga diperkuat dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pada Maret 2024, Indonesia sudah mengimpor beras sebanyak 567,22 ribu ton atau senilai 371,60 juta dolar AS.

Artinya Bulog mengimpor beras dengan harga rata-rata 655 dolar AS per ton. Dari nilai ini, tutur Hari, ada selisih harga atau dugaan mark up senilai 82 dolar AS per ton.  

“Jika kita mengacu harga penawaran beras asal Vietnam, maka total selisih harga sekitar 180,4 juta dolar AS. Jika menggunakan kurs Rp15.000 per dolar, maka estimasi selisih harga pengadaan beras impor diperkirakan Rp2,7 triliun,” kata Hari.

Terkait demurrage, Hari menduga dugaan negara merugi Rp294,5 miliar, akibat tertahannya 490 ribu ton beras impor Bulog di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, pada pertengahan hingga akhir Juni 2024. Atas dua aduan ini, Hari meminta KPK dapat segera memeriksa Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pengadaan impor beras.