Era Jokowi dinilai terlalu ‘menuhankan’ investor atau proyek mobil listrik, namun tega menindas rakyat. Investor smelter asal China dan program mobil listrik disediakan banyak insentif. Sementara rakyat dicekik pajak pertambahan nilai (PPN) yang naik tiap tahun
Ekonom Senior Indef Faisal Basri menyatakan, rencana kenaikan PPN 12 persen pada 2025, sebaiknya ditunda. Jika dipaksakan justru menambah beban rakyat yang saat ini sudah berat.
“Kalau menurut saya wajib lah ditunda, ini kan pertanyaannya itu tadi defisitnya tambah lebar. Karena PPN paling gampang, kalau PPh masih suka nilep-nilep kalau PPN itu setiap tahun saksi,” kata Faisal di DPR, Jakarta, Rabu (10/7/2024).
Berdasarkan UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pasal 7 ayat 1, mengamanatkan pemerintah untuk mengerek PPN yang sebelumnya 10 persen, menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Dan, kembali naik menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.
Masih kata Faisal, pemerintahan Jokowi memberikan perlakuan berbeda terhadap investasi asing dan program listrik. harus diakui, kedua sektor itu boleh disebut berlimpah insentif. Mulai dari tax holiday, tax deductible, hingga mobil listrik.
“Jadi ya tinggal yang mau diutamakan itu demi investasi, omnibus law memberikan fasilitas yang namanya tax holiday, tax deductible, super tax deductible. Malah disubsidi kalau mobil listrik, mobil listrik kan Rp 40 juta per mobil kayak gitu,” ujarnya.
“Sementara PPN yang mengenai hajat hidup rakyat banyak, kok malah dinaikkan. Ini rasa keadilannya di mana? Tapi demi investasi semua itu, makin gelap mata,” sambungnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan berpandangan sama. Bahwa kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, benar-benar melukai hati rakyat. Kebijakan yang ditetapkan terjadi April 2022 itu, baru terasa dampaknya pada tahun ini.
“Memang belum terasa di penerimaan waktu itu, karena masih ada dorongan kenaikan harga komoditas yang menyebabkan ekonomi rebound,” kata Abdul Manap.
Dia mengatakan kenaikan PPN tersebut sebenarnya bisa saja meningkatkan penerimaan negara. Namun, daya beli masyarakat akibat kenaikan PPN menjadi melemah karena kondisi perekonomian yang belum pulih benar imbas pandemi COVID-19.
Abdul Manap mejelaskan faktor kedua yang menyebabkan daya beli masyarakat tergerus adalah kenaikan harga kebutuhan pokok. Inflasi beras dan makanan lainnya, kata dia, membuat orang-orang mengerem belanja lainnya.
“Jadi dengan kenaikan itu orang akan mengerem pembelian bahan-bahan atau jenis-jenis barang yang lain,” kata dia.