Hidup Semakin Berat, Adik Prabowo Menghadap World Bank Utarakan Rencana Kenaikan Rasio Utang


Naga-naganya, pemerintah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka bakal melanjutkan tradisi utang era Jokowi.

Pasalnya, Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo mengungkap rencana penaikkan rasio utang dari 30 persen, menjadi 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bisa dibayangkan. dengan rasio utang 30 persen saja, utang pemerintahan saat ini sudah ugal-ugalan apalagi jika ambang batasnya dikerek. Ujung-ujungnya beban utang ini ditimpakan kepada rakyat.

“Saya sudah berbicara dengan Bank Dunia dan menurut mereka 50 persen adalah tindakan yang tetap hati-hati,” ujar adik kandung Prabowo Subianto itu, saat sesi wawancara dengan Financial Times, Kamis (11/7/2024).

Dikatakan Hashim, pemerintahan Prabowo-Gibran perlu dana super jumbo untuk membiayai sejumlah program yang digagas sejak masa kampanye. Salah satunya program makan bergizi gratis, dulu namanya program makan siang dan susu gratis.

“Idenya adalah untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan tingkat utang. Kami tidak ingin menaikkan tingkat utang tanpa meningkatkan pendapatan,” imbuhnya.

Berdasarkan UU Keuangan Negara, batas maksimal rasio utang Indonesia adalah 60 persen dari PDB. Namun, selama ini rasio utang konsisten dijaga di ambang batas 30 persen dari PDB.

Karenanya, rencana kenaikan rasio utang menjadi 50 persen tersebut sempat dikhawatirkan karena akan berdampak pada kenaikan defisit anggaran melebihi batas maksimum 3 persen.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti sudah mendengar adanya rencana dari kubu Prabowo-Gibran untuk mengerek rasio utang terhadap PDB menjadi 50 persen.

“Kita dengar, Pak Hashim sudah ke World Bank, disampaikan keinginan untuk menaikkan rasio terhadap PDB, akan naik 50 persen, sehingga batas (utang) atau threshold naik menjadi 60 persen. Itu saya baca di Finance Times,” kata Esther.

Saat ini, kata dia, rasio utang sudah menembus 38,64 persen. Jika dinaikkan menjadi 60 persen, bakal mempersulit ruang gerak perekonomian nasional. Karena, pemerintah akan mendorong penerimaan negara pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

“Ini dikhawatirkan berdampak kepada laju perekonomian nasional semakin berat. Karena pajak digenjot, daya beli semakin lemah,” ungkapnya.

Tak hanya pajak, lanjut Esther, ketika utang semakin gendut maka pemerintah terpaksa mengurangi kuota beban subsidi. demi menjalankan program-program unggulan pemerintah. “Ini juga membuat beban masyarakat bertambah. Bayangkan saja misalnya subsidi BBM dan LPG dikurangi, tentu ada dampaknya,” ungkapnya.