Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Asfinawati mengaku independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2024 sudah mengecewakan publik. Salah satu faktor utamanya adalah pimpinannya yang berasal dari institusi polri.
“Pimpinan KPK 2019-2024 itu memiliki isu independensi yang amat mengecewakan, karena mereka terikat dengan institusi yang harusnya dibersihkan oleh KPK, yaitu Polri dan Kejaksaan,” ucap Asfinawati, Senin (15/7/2024).
Guna menghindari hal itu, pansel sejatinya harus terlebuh dulu melihat rekam jejak pendaftar komisioner KPK. Meski begitu, dirinya menegaskan bukan berarti anggota Polri atau kejaksaan tidak bisa memimpin lembaga antirasuah tersebut.
“Saya tidak mengatakan seluruh anggota polri tidak bisa menjadi pimpinan KPK, karena banyak penyidik KPK, penyelidik KPK juga berasal dari Polri. Tetapi persoalan di sini adalah menggunakan afirmasi,” kata dia.
Menurutnya, dalam beberapa tahun belakangan ini, perlu ada kuota penegak hukum, perlu ada kuota dari kepolisian, dan kejaksaan agung. Kuota-kuota ini di dalam konsep bernegara di dalam UUD 1945, namanya kemudahan dan perlakuan khusus.
Misalnya pada UUD 1945 Pasal 28D ayat 1 menyatakan setiap orang berhak atas pelakuan yang sama di hadapan hukum, termasuk menjadi pimpinan KPK.
Kemudian pada Pasal 28H ayat 2 dikatakan, setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai keadilan.
“Ini sederhananya afirmasi. Kalau ada orang dengan kondisi misalnya dia tidak bisa melihat, dia tidak bisa diberikan buku yang sama dengan orang yang bisa melihat, karena pasti dia ingin mendapatkan keadilan,” tuturnya.
“Pertanyaan saya apakah ada keperluannya memberikan kemudahan dan perlakuan khusus untuk orang-orang dari polri dan kejaksaan, saya pikir tidak ada kebutuhannya,” lanjutnya.
Karena itu ia menilai tidak perlu ada kekhususan bagi polri atau kejaksaan agung yang mendaftar menjadi komisioner KPK.
“Ya dilihat saja rekam jejaknya bagaimana, integritasnya bagaimana, dan tidak boleh ada kuota bahwa satu pimpinan itu harus dari polri atau kejaksaan. Yang perlu adalah ada orang yang mengerti tentang penyidikan, orang yang paham tentang penuntutan siapapun dia, tidak harus polri atau kejaksaan,” tandasnya.