Ekonomi Trump: Pertumbuhan Melambat, Harga Naik dan Utang Meningkat


Jika Donald Trump terpilih kembali sebagai presiden Amerika Serikat pada bulan November, warga Amerika dapat menghadapi inflasi lebih tinggi, pertumbuhan ekonomi lebih lambat, dan utang nasional yang lebih besar. Ini adalah ramalan para ekonom.

Agenda ekonomi Trump untuk masa jabatan kedua meliputi kenaikan tarif impor, pemotongan pajak, dan deportasi jutaan migran tidak berdokumen. “Inflasi akan menjadi dampak utama dari masa jabatan kedua Trump,” Bernard Yaros, kepala ekonom AS di Oxford Economics, mengatakan kepada Al Jazeera, kemarin.

“Itulah risiko terbesarnya. Jika Trump menjadi presiden, tarif pasti akan naik. Pertanyaannya adalah seberapa tinggi tarifnya dan seberapa luas penerapannya,” tambah Yaros. Trump telah mengusulkan penerapan tarif menyeluruh sebesar 10 persen pada semua barang impor dan pungutan sebesar 60 persen atau lebih pada impor China.

Selama masa jabatan pertama Trump dari tahun 2017 hingga 2021, pemerintahannya memperkenalkan kenaikan tarif yang pada puncaknya mempengaruhi sekitar 10 persen impor, sebagian besar barang dari China, kata Moody’s Analytics dalam sebuah laporan yang dirilis pada bulan Juni. 

Namun, pungutan tersebut tetap menimbulkan kerusakan ekonomi yang terukur, khususnya pada sektor pertanian, manufaktur, dan transportasi, menurut laporan tersebut. “Peningkatan tarif yang mencakup hampir semua impor barang, seperti yang diusulkan Trump baru-baru ini, jauh melampaui tindakan sebelumnya,” kata Moody’s Analytics dalam laporannya.

Perusahaan biasanya mengenakan tarif yang lebih tinggi kepada pelanggan mereka, sehingga menaikkan harga bagi konsumen. Tarif tersebut juga dapat memengaruhi keputusan perusahaan tentang bagaimana dan di mana berinvestasi. “Ada tiga prinsip utama kampanye Trump, dan semuanya mengarah pada arah inflasi yang sama,” kata Matt Colyar, asisten direktur di Moody’s Analytics, kepada Al Jazeera.

“Kami bahkan tidak berpikir untuk memasukkan tarif pembalasan dalam pemodelan kami karena siapa yang tahu seberapa luas dan seperti apa bentuk model balasan itu nantinya,” imbuh Colyar.

Resesi Menjadi Ancaman Serius

Ketika AS membuka perbatasannya setelah pandemi COVID-19, masuknya imigran membantu meringankan kekurangan tenaga kerja di berbagai industri seperti konstruksi, manufaktur, rekreasi, dan perhotelan. Pemulihan pasar tenaga kerja pada gilirannya membantu menurunkan inflasi dari puncaknya pada pertengahan 2022 sebesar 9,1 persen.

Trump tidak hanya mengusulkan deportasi massal terhadap 15 juta hingga 20 juta migran tidak berdokumen tetapi juga membatasi masuknya pekerja migran pemegang visa. Hal itu, ditambah dengan gelombang pensiunan Generasi Baby Boomer – yang diperkirakan 10.000 di antaranya meninggalkan dunia kerja setiap hari – akan memberikan tekanan pada upah seperti yang terjadi selama pandemi, sebuah tren yang baru-baru ini mulai mereda.

“Kita dapat berasumsi bahwa ia akan menghambat proses imigrasi sehingga jumlah imigran akan berkurang secara signifikan, yang mana akan menyebabkan inflasi,” kata Yaros.

Karena biaya tenaga kerja dan inflasi adalah dua ukuran penting yang dipertimbangkan Federal Reserve AS saat menetapkan suku bunga acuannya, bank sentral dapat mengumumkan kenaikan suku bunga lebih lanjut, atau setidaknya menunggu lebih lama untuk memangkas suku bunga. Hal itu akan membuat resesi menjadi “ancaman serius sekali lagi”, menurut Moody’s.

Yang menambah kekhawatiran inflasi tersebut adalah usulan Trump untuk memperpanjang pemotongan pajak tahun 2017 dan selanjutnya menurunkan tarif pajak perusahaan dari 21 persen menjadi 20 persen.

Meskipun kenaikan tarif yang diusulkan Trump akan mengimbangi sebagian pendapatan yang hilang, namun kenaikan tersebut tidak akan menutupi kekurangannya sepenuhnya. Menurut Moody’s, pemerintah AS akan menghasilkan pendapatan US$1,7 triliun dari tarif Trump sementara pemotongan pajaknya akan menelan biaya US$3,4 triliun.

Yaros mengatakan pengeluaran pemerintah juga cenderung meningkat karena Partai Republik berupaya mengupayakan anggaran pertahanan yang lebih besar sementara Partai Demokrat mendorong pengeluaran sosial lebih besar, yang selanjutnya memicu inflasi.

Tidak akan ada Perubahan Filosofis

Jika Presiden Joe Biden terpilih kembali, para ekonom tidak memperkirakan adanya perubahan filosofis dalam pendekatannya terhadap pajak impor. Mereka memperkirakan Trump akan terus menggunakan kenaikan tarif yang ditargetkan, seperti tarif 100 persen yang baru-baru ini diumumkan untuk kendaraan listrik dan panel surya China, guna membantu perusahaan-perusahaan AS bersaing dengan perusahaan-perusahaan China yang didukung pemerintah.

Dengan berakhirnya pemotongan pajak Trump pada tahun 2025, masa jabatan Biden yang kedua akan memperpanjang beberapa pemotongan tersebut, tetapi tidak semuanya, kata Colyar. Terutama, pemotongan pajak untuk orang-orang berpenghasilan tinggi seperti mereka yang berpenghasilan lebih dari US$400.000 setahun.

Meskipun Biden telah mengatakan akan menaikkan pajak perusahaan dari 21 persen menjadi 28 persen, mengingat Kongres yang terbagi, kecil kemungkinan ia akan mampu meloloskannya.

Visi ekonomi yang kontras dari kedua kandidat presiden telah menciptakan ketidakpastian yang tidak diinginkan bagi bisnis. “Perusahaan dan investor mengalami kesulitan untuk tetap menjalankan [rencana mereka] mengingat dua kemungkinan arah pemilu AS,” kata Colyar.