Mafia obat ibarat kentut, tak bisa dilihat apalagi digenggam. Hanya saja bau busuknya menusuk hidung.
Pembangunan ekosistem sektor kesehatan belum menjadi prioritas utama pemerintah. Hal itu tercermin dari ranking kesehatan Indonesia yang tertinggal jauh di posisi ke-58 secara global, mengacu pada data Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness. Data lain menyebut, Indonesia ada pada urutan 114 dari 192 negara, sebagaimana tertulis dalam laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dirilis United Nation Development Programme (UNDP) tahun 2022.
Persoalan di sektor kesehatan dalam negeri memang rumit. Bukan saja masalah ketersediaan tenaga kesehatan (nakes) dan fasilitas kesehatan (faskes) yang merata serta terjangkau, untuk urusan obat-obatan saja pemerintah tak mampu hadirkan harga yang ramah kantong.
Kepada Inilah.com, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan, harga obat-obatan di India jauh lebih terjangkau ketimbang Indonesia, selisihnya hingga enam kali lipat. Contohnya saja, harga satu tablet obat kolesterol Atorvastatin 20 mg di apotek di Jakarta adalah Rp6.160, sedangkan di India hanya 4,9 Rupee, atau Rp984,87 (kurs Rp193,65/Rupee). Berikut tabel perbandingan obat lainnya:
Nama Obat |
Harga per butir/tablet |
|
Indonesia |
India |
|
Clopidogrel 75 mg |
Rp7.835 |
7,7 Rupee (Rp1.540) |
Telmisartan 40 mg |
Rp5.198 |
7,4 Rupee (Rp1.500) |
Concor 2,5 mg |
Rp10.711 |
7,8 Rupee (Rp1.560) |
“Sebenarnya informasi harga obat di negara kita memang relatif lebih mahal dari negara tetangga memang sudah lama sekali kita dengar dan nampaknya belum kunjung teratasi sampai sekarang,” tuturnya seraya menyoroti dua hal yang harus dibenahi. Pertama dari sisi rantai produksi, yang artinya pemerintah mesti berani dan bisa lepas dari ketergantungan bahan baku impor. Kemudian, pembenahan di rantai distribusi.
Pada Juni 2022, pemerintah sempat menyinggung soal ketergantungan industri farmasi terhadap bahan baku impor. Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi yang saat itu sedang menggebu-gebu ingin mengembangkan bahan baku obat dari plasma darah manusia, sempat mengeluh terkait sulitnya menemukan perusahaan farmasi yang mau mengembangkan pabrik di Indonesia. Ia yakin betul ada tangan tak terlihat alias mafia yang berperan dalam menghambat rencana membangun pabrik obat produksi dalam negeri.
![Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin](https://i2.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/05/62bce202e1c03_c4d7f1d94c.jpeg)
“Orang di Indonesia 270 juta, seharusnya Indonesia jadi produsen plasma darah nomor 4 terbesar di dunia, masa produk obat plasma semuanya impor, itu enggak benar. Pasti ada mafia yang enggak mau kita bikin pabriknya di sini,” ujarnya saat kunjungan kerja di Jawa Barat, pada Kamis 2 Juni 2022.
Lucu memang melihat perwakilan pemerintah menjerit soal mafia obat, mengingat negara memiliki tiga aparat hukum yang kuat, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, dan Kejaksaan Agung (Kejagung). Rasanya tidak sulit untuk mengungkap dan memberantas mafia obat, sepanjang ada kemauan dan komitmen yang kuat.
Asal tahu saja, Menkes Nila Moeloek—pendahulu Gunadi—pada November 2015 sudah lebih dulu berbicara soal adanya praktik mafia di industri farmasi. Bahkan kala itu, ia menyinggung adanya dugaan keterlibatan para dokter, usai mencuatnya temuan sebuah perusahaan farmasi di Jawa Timur menyiapkan beragam hadiah pernak-pernik menawan hingga mobil mewah dalam bisnis obat-obatan. Imbalannya, dokter diminta menuliskan resep obat yang diproduksi perusahaan farmasi pemberi hadiah.
Pada periode 2013-2015, temuan itu menyebut, perusahaan farmasi rela menyiapkan dana hingga Rp131 miliar, agar para dokter mau meresepkan obat-obatan yang mereka produksi. Praktik kotor yang melibatkan dokter ini dibungkus dalam bentuk kerja sama. Oknum dokter yang diduga terlibat, menerima 10-20 persen penjualan obat. Diskon tersebut kabarnya diberi dalam bentuk uang dan fasilitas lainnya. Sayangnya, kala itu KPK tidak bertindak dengan berbagai alasan. Dari keterbatasan penyidik, menunggu laporan masyarakat, hingga adanya batasan kewenangan tak bisa menindak dokter yang bukan pegawati negeri.
Pemerintah terlalu lamban dalam membenahi industri farmasi. Terus terang saja, sistem lah yang memelihara mafia obat selama ini. Mengapa? Karena berbagai peta jalan untuk pembenahan sejatinya sudah ada, salah satu contohnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 87 Tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat. Regulasi ini bertujuan meningkatkan pengembangan dan produksi bahan baku obat dalam negeri dan mengurangi angka impor, tetapi sampai sekarang industri bahan baku obat tak kunjung tercapai.
Temuan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) di tahun 2019 mengungkap adanya skema bisnis farmasi tidak sehat dan tidak transparan. Sekitar 70 persen omzet pada 2015, yang mencapai Rp56 triliun, dinikmati belasan perusahaan besar. Lebih parah lagi, 59 persen pasar masih dikuasai obat resep dokter, sedangkan obat generik hanya mendapatkan 41 persen. Ini baru persoalan prakti mafia di bisnis obat-obatan legal, belum lagi praktik kotor obat-obatan ilegal atau obat palsu.
![Ketua KPPU Fanshurullah (tengah) didampingi para komisoner KPPU periode 2024-2029 lainnya memberikan keterangan pers, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/01/2024)](https://i1.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/07/Komisioner_KPPU_2024_2029_905dbd2113.jpg)
Pada Juli 2012, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkap, setiap melakukan operasi obat ilegal di suatu wilayah dan menggerebek salah satu toko, maka toko lain yang belum sempat dioperasi langsung tutup. Seakan ada yang mengordinasikan mereka. Saat media gathering pada 5 Juli 2012, Direktur Standarisasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen BPOM, Hary Wahyu mengakui bahwa praktik mafia obat adalah fakta bukan sekadar rumor.
“Kalau soal mafia obat memang ada, jadi contohnya dulu waktu ada operasi di daerah, itu memang cepat informasinya dan mereka kompak. Jadi kalau dibilang ada jaringan ya kita tidak bisa memungkiri hal itu terjadi karena kita alami sendiri,” tutur dia kala itu. Sayangnya ketika dikonfirmasi ulang terkait perkembangan praktik kotor ini, BPOM memilih untuk tidak berkomentar. “Akan lebih tepat jika ditanyakan ke Kementerian Kesehatan,” ucap Humas BPOM Herma kepada Inilah.com.
Reformasi Industri Farmasi
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi menolak keras jika rekan-rekan sejawatnya dijadikan kambing hitam atas mahalnya harga obat. Meski dia akui, ‘kerja sama’ kotor antara dokter dengan perusahaan farmasi memang pernah terjadi.
“Tentu kami punya pengalaman itu. Saya lupa tahun berapa, pada saat itu ada temuan, salah satu sejawat dokter yang kemudian dianggap melakukan sebuah gratifikasi dengan salah satu perusahaan obat. Tapi setelah kasus itu, ada upaya-upaya pencegahan yang dilakukan oleh organisasi dan juga pemerintah,” tutur dia kepada Inilah.com.
Ia mengklaim praktik kerja sama sudah dibenahi, kini para dokter hanya boleh menerima hadiah dari perusahaan obat bila ditujukan untuk pengembangan kemampuan. “Artinya si dokter akan mengikuti sebuah continuing professional development atau pendidikan, seminar, pelatihan dan workshop, maka (hadiah) itu masih diperbolehkan,” katanya menjelaskan.
![Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi](https://i2.wp.com/c.inilah.com/reborn/2023/08/1/0401_084931_03bd_inilah_com_f599af5cb1.jpg)
Ketimbang mengkambinghitamkan dokter, Adib mendorong pemerintah melakukan reformasi industri farmasi. Menurutnya, salah satu faktor harga obat di pasaran mahal dikarenakan 90 persen lebih bahan baku obat itu impor. Ia menjelaskan, sekitar 20-25 persen dari harga obat yang ada di pasaran memang diperuntukkan membeli bahan baku, ada pula ongkos kemasan sekitar 10 persen, sisa-sisanya yang lain untuk biaya marketing, promosi, dan keuntungan perusahaan, termasuk juga biaya distribusi obat.
Apa yang disampaikan Adib selaras dengan pengakuan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Reni Yanita, saat rapat dengan Komisi VII DPR pada Selasa (9/7/2024). Ia mengungkapkan, 90 persen bahan baku farmasi masih harus impor, terutama dari China, India dan Amerika Serikat (AS). Rinciannya, 45 persen dari China, India sebanyak 27 persen dan AS 8 persen.
Tantangan lainnya, industri farmasi masih berbasis formulasi. Jadi mayoritas industri Farmasi nasional baik berstatus Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) fokus formulasi produk-produk obat copy (off-potent). Kemudian, sambung dia, masih diperlukannya impor untuk beberapa produk yang masih dalam masa paten, biologi dan obat dosis yang spesifik dan teknologi yang tinggi seperti aerosol inhaler atau pen insulin.
Pengamat kebijakan publik dari BRIN Syafuan Rozi mendesak pemerintah untuk lebih memprioitaskan industri farmasi, utamanya dalam segi anggaran. Pengalokasian saat ini masih dianggap kurang, hanya 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD. Selain dukungan anggaran, tutur dia, perlu ada reformasi dalam tata kelola dari hulu ke hilir. “Jadi jaringan produksi lebih banyak dikontrol dengan kementerian kesehatan, kemudian distribusinya juga dikawal. Presiden yang baru juga perlu membuat satu regulasi yang lebih implementatif, agar bisa membatasi celah prakti mafia,” ucap dia kepada Inilah.com.
Saran penambahan anggaran jadi masuk akal jika kita menengok lagi masalah keuangan yang sedang melanda BUMN farmasi PT Indofarma, di mana pada April lalu tengah kesulitan membayar gaji karyawan. Tapi di sisi lain, persoalan keuangan ini disebabkan kebodohan Indofarma sendiri. Mei lalu, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menyebut potensi penyimpangan (fraud) dalam pengelolaan keuangan Indofarma terletak pada anak perusahaannya, PT Indofarma Global Medika.
Masalahnya, dana Rp470 miliar yang harusnya masuk ke Indofarma tidak disetor oleh Indofarma Global Medika. Ujungnya induk Holding BUMN Biofarma ketiban pulung dari kebodohan Indofarma, harus ambil alih operasional. Kebodohan ini makin membuktikan bahwa reformasi besar-besaran industri farmasi perlu sesegera mungkin dilakukan. Akan tetapi, muncul pertanyaan baru, apakah dengan mereformasi, nantinya semua masalah termasuk praktik mafia obat akan terselesaikan? Biar waktu yang menjawab.
[Rez/Clara/Harris/Reyhaanah]