Dari balita dan remaja hingga dewasa, perang Israel di Gaza telah mengakibatkan ribuan amputasi yang menyebabkan korban Palestina menghadapi kebutuhan mendesak dan seumur hidup.
Tidak ada statistik resmi yang tersedia, tetapi sebagian besar dari 85.000 orang yang menurut kementerian kesehatan setempat telah terluka sejak perang dimulai diperkirakan kini membutuhkan anggota tubuh palsu.
Awal tahun ini, LSM Humanity & Inclusion melaporkan bahwa 70 hingga 80 persen dari mereka yang dirawat di 12 rumah sakit yang masih berfungsi sebagian di Gaza telah kehilangan anggota tubuh atau menderita cedera tulang belakang.
Kurangnya pasokan medis karena blokade Israel terhadap bantuan dan penghancuran rumah sakit di Gaza telah menyebabkan para dokter terpaksa melakukan amputasi tanpa anestesi, dan terkadang dengan peralatan kasar.
Lebih jauh lagi, hanya 30 persen tenaga medis di Gaza sebelum perang yang masih bekerja akibat kematian, penahanan, dan pengungsian, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang menambah kesulitan bagi warga yang terluka.
Seorang dokter yang bermukim di Gaza, Rajaa Hassan, mengatakan kepada The New Arab bahwa amputasi terkadang merupakan satu-satunya pilihan. Kurangnya antiseptik menyebabkan luka dapat dengan cepat menjadi gangren, dengan amputasi anggota tubuh yang terluka seringkali menjadi satu-satunya cara untuk menghentikan pendarahan dan menyelamatkan nyawa pasien. Pasukan Israel juga telah menghalangi akses ke bank darah yang berarti transfusi tidak mungkin dilakukan.
Krisis Anak-anak yang Diamputasi di Gaza
Perang Israel khususnya berdampak pada anak-anak. Selain lebih dari 14.000 orang yang tewas, UNICEF memperkirakan pada bulan Januari bahwa sekitar 1.000 anak telah kehilangan satu atau kedua kaki mereka. Ini setara dengan 10 anak kehilangan anggota tubuh setiap hari akibat pemboman Israel. Jumlah tersebut kemungkinan besar telah jauh terlampaui saat ini.
Awal tahun ini, dokter Ghassan Abu Sittah yang berkantor di London mengatakan bahwa Gaza menjadi saksi kelompok amputasi anak terbesar dalam sejarah. Dokter bedah melakukan hingga enam amputasi sehari saat bekerja di wilayah yang terkepung selama 43 hari.
Kurangnya perawatan medis dan fasilitas untuk membantu mereka di kemudian hari hanya memperparah penderitaannya. Para korban amputasi juga menghadapi risiko lebih besar karena ketidakmampuan mereka untuk melarikan diri dari serangan Israel yang terus-menerus terhadap Gaza.
Karena kurangnya sumber daya, para pekerja kesehatan Palestina terpaksa membuat prostetik buatan sendiri sebagai bantuan sementara untuk membantu para korban amputasi yang kehilangan anggota tubuh akibat perang hingga mereka dapat memperoleh prostetik yang layak.
“Meskipun kondisinya sulit, kami tidak membiarkan perang menjadi penghalang yang memaksa kami menunggu hingga perang berakhir untuk membantu yang terluka atau menyediakan layanan yang sangat dibutuhkan bagi mereka,” kata Moataz Abu Dayeh, seorang fisioterapis di Gaza, kepada TNA.
Moataz dan rekannya Abdullah Salmi, seorang sukarelawan pembuat prostetik, menggunakan alternatif primitif seperti plastik, kayu, dan spons karena kurangnya bahan lain.
Dampak Jangka Panjang Menyedihkan
Gaza sudah memiliki sejumlah besar orang yang diamputasi akibat perang Israel sebelumnya pada tahun 2008-2009, 2012, 2014, dan 2021, tetapi krisis orang yang diamputasi sejak perang dimulai pada bulan Oktober memiliki konsekuensi jangka panjang signifikan bagi individu dan masyarakat.
Bagi mereka yang terkena dampak, kehilangan anggota tubuh menyebabkan tantangan fisik dan mental, sehingga memerlukan perawatan medis ekstensif, rehabilitasi, dan dukungan psikologis. Banyak yang menghadapi kendala dalam berintegrasi kembali ke masyarakat, termasuk hambatan pekerjaan dan berkurangnya mobilitas, yang memengaruhi kualitas hidup dan kemandirian mereka.
Meskipun menghadapi tantangan ini, banyak orang yang diamputasi menunjukkan ketahanan yang luar biasa, menerima dukungan dari masyarakat setempat dan organisasi kemanusiaan untuk membangun kembali kehidupan di tengah kekacauan dan ketidakpastian yang sedang berlangsung.
Sobhi Soboh, seorang fisioterapis dan anggota dewan proyek amputasi Palestine Children’s Relief Funds, berbicara kepada TNA tentang pengalamannya sebagai seorang amputasi sejak usia delapan tahun. Dia kehilangan kakinya setelah bom Israel menyebabkan tembok runtuh di rumah keluarganya di Gaza utara saat dia sedang bermain.
Ia menghabiskan lima tahun hidup berjalan di atas sapu. Dari waktu ke waktu membuat kruk sendiri dari baja logam yang terasa sangat berat untuk berjalan. Setelah saya bertemu PCRF pada tahun 2008, hidupnya berubah ketika mendapat bantuan kaki palsu pertama. “Saya sempat berpikir untuk bunuh diri karena dampak fisik dan mental yang saya alami akibat situasi tersebut,” kata Soboh kepada TNA.
Menjadi seorang yang diamputasi di Gaza di tengah perang saat ini sangatlah sulit karena kombinasi dari keterbatasan sumber daya medis, hambatan fisik, kesulitan ekonomi, dan trauma psikologis yang diperburuk oleh konflik yang sedang berlangsung dan krisis kemanusiaan.