Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini membeberkan sejumlah faktor penyebab hadirnya calon tunggal pada Pilkada 2024. Salah satunya adalah calon dan parpol menginginkan kemenangan sejak awal.
“Orientasinya menang dan lebih mudah bertaruh dengan parpol daripada bertaruh dengan suara rakyat. Kalau misalnya ikut pilkada kemudian bertaruh untuk merebut suara rakyat, probabilitasnya belum sepenuhnya meyakinkan,” ungkap Titi secara virtual dalam diskusi bertajuk ‘Menggugat Fenomena Calon Tunggal Pilkada Serentak 2024’, Minggu (4/8/2024).
Kemudian, makin banyak hambatan untuk ikut kontestasi, seperti halnya mendapatkan tiket pencalonan atau yang disebut juga dengan barrier to entry, berupa makin beratnya syarat pencalonan, baik jalur perseorangan atau parpol.
Selanjutnya hegemoni kekuatan petahana, dan yang terakhir adalah sentralisasi pencalonan pilkada yang melalui mekanisme tiga pintu. Ini menyaratkan pencalonan dengan rekomendasi pengurus parpol di kabupaten/kota, provinsi dan wajib DPP itu sangat memberatkan paslon.
“Lalu mahar politik dalam pencalonan. Juga problem kaderisasi di kelembagaan partai, tidak ada calon potensial untuk diusung akibat kaderisasi berorientasi pada figur dan segelintir elite. Figur potensial terpilih di pemilu DPR/DPRD, enggan maju pilkada karena tidak mau mundur dari DPR/DPRD,” tuturnya.
Tak hanya itu, calon tunggal juga ada, karena fenomena elektabilitas yang terlampau jauh antara satu calon dengan yang lain. Lalu kondisi internal partai yang tidak solid, kemudian pragmatisme parpol.
“Ini tadi, ketimbang kalah dan keluar banyak uang, lebih baik membangun posisi tawar dengan calon kuat yang sudah ada atau politik bagi-bagi kue,” jelasnya.
Ia juga menilai ada beberapa hal mengapa calon tunggal berpotensi kuat meningkat. Selain menjanjikan kemenangan, calon tunggal juga menghadirkan dominasi sentralisasi pencalonan dan otoritas penuh pada Ketum partai untuk membuat keputusan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut juga menyatakan, calon tunggal makin meningkat, karena adanya upaya mengonsolidasikan Koalisi pencalonan pilpres di pilkada, misalnya Koalisi Indonesia Maju (KIM).
“Lalu kondisi parpol belum pulih dari sisi soliditas, keuangan, dan pemenangan pascapemilu serentak 2024. Serta tukar guling koalisi pencalonan antara satu daerah dengan yang lain, melepas satu daerah untuk mendapatkan dukungan pencalonan di daerah lain,” kata dia.
“Misalnya kita terkaget-kaget contoh PKS mendukung Bobby Nasution di Pilkada Sumut, oh ternyata ada disclaimer-nya berharap untuk mendapat dukungan di pilkada Asahan. Jadi pola seperti ini ternyata terbaca,” tandasnya.