Pada kuartal II-2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05 persen secara tahunan (year on yeal/yoy). Turun ketimbang capaian kuartal I-2024 sebesar 5,11 persen. Tanda-tanda krisis ekonomi?
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, M Edy Mahmud mengakui adanya penurunan besaran komponen penyumbang pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2024.
Misalnya, kontribusi industri manufaktur hanya 0,79 persen di kuartal II-2024. Anjlok jika disandingkan kontribusi di kuartal I-2024 sebesar 0,86 persen. Selain itu, lapangan usaha konstruksi juga mengalami penurunan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari 0,73 persen di kuartal I-2024 menjadi 0,67 persen di kuartal II-2024.
“Di infokom (informasi dan komunikasi) ada sedikit penurunan source of growth untuk di kuartal I (2024) sebesar 0,56 persen, kemudian di kuartal II ini menjadi 0,5 persen,” kata Edy, Senin (5/8/2024).
Turunnya pertumbuhan di kuartal II-2024 menjadi 5,05 persen, menurut dia, juga dialami sejumlah negara. Dan jika dibandingkan dengan kuartal II-2023, kontribusi sektor usaha dominan melandai di kuartal II/2024.
Pada kuartal II-2023, manufaktur menyumbang hingga 0,98 persen terhadap pertumbuhan ekonomi periode tersebut sebesar 5,17 persen.
Begitupun, lapangan usaha sektor konstruksi menyumbang hingga 0,8 persen terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal II/2023. Namun, kontribusi konstruksi turun pada periode yang sama pada tahun ini, hanya 0,67 persen terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05 persen.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menyebut, fundamental ekonomi menjelang masa pensiun Jokowi, terus memburuk dan rapuh.
Khususnya situasi fiskal dan moneter yang terus-terusan ‘babak belur’. Sebut saja nilai tukar atau kurs rupiah rupiah terhadap dolar AS (US$) di pasar spot, masih di atas Rp16.000/US$. ‘Doping’ alias intervensi yang dilakukan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan kurs rupiah sejauh ini gagal total.
Kata Anthony, BI bahkan harus mengorbankan diri, ‘menyimpang’ dari tugas pokok Bank Sentral. Bank Indonesia difungsikan sebagai mesin baru pencetak utang luar negeri, melalui penerbitan surat utang (obligasi) Bank Indonesia.
Tak tanggung-tanggung, tiga jenis surat utang sekaligus: SRBI (Sertifikat Rupiah Bank Indonesia), SVBI (Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia), dan SUVBI (Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia)
“Bank Indonesia yakin penerbitan surat utang Bank Indonesia dapat menarik investor asing untuk memperkuat kurs rupiah. Ternyata hanya ilusi. Gagal,” ungkapnya.
Anthony mengatakan, selain ajloknya angka pertumbuhan ekonomi, potensi krisis membesar tatkala nilai tukar rupiah jeblok hingga Rp17.000/US$.
Analisa Anthony ini sesuai dengan tindakan bank investasi global Morgan Stanley yang menurunkan peringkat saham Indonesia menjadi “underweight”. Mengindikasikan bahwa potensi keuntungan saham di Indonesia memburuk.
Morgan Stanley menyoroti melemahnya kondisi moneter dan fiskal Indonesia, sejalan dengan analisis Anthony yang menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia sedang menghadapi tantangan serius, termasuk penurunan penerimaan pajak dan defisit anggaran yang meningkat.
Dia mengatakan, pemerintah baru dikritik karena berencana meningkatkan rasio utang pemerintah terhadap produk Domestik bruto (PDB) dari 39 persen menjadi 50 persen dalam lima tahun ke depan. “Ini langkah yang sangat berisiko,” pungkas Anthony.