Apakah AS Sedang Menuju Resesi?


Tingkat pengangguran di Amerika Serikat (AS) melonjak ke level tertinggi hampir tiga tahun sebesar 4,3 persen pada bulan Juli. Peningkatan tak terduga dalam angka pengangguran di AS ini telah membuat para ekonom terbagi, apakah AS berada di ambang resesi atau tidak?

Menurut data yang dirilis Jumat (2/8/2024), peningkatan tersebut – naik dari 4,1 persen pada bulan Juni, dan naik dari level terendah lima dekade sebesar 3,4 persen pada bulan April tahun lalu – menjadi latar belakang untuk pemotongan suku bunga pada pertemuan Federal Reserve berikutnya di bulan September.

“Lonjakan angka pengangguran menunjukkan resesi pada tahun 2025,” kata Gary Clyde Hufbauer, peneliti senior nonresiden di Peterson Institute for International Economics, kepada Al Jazeera. “Saya memperkirakan The Fed [AS] akan mulai memangkas suku bunga kebijakan pada bulan September, dan akan terus memangkasnya dalam pertemuan-pertemuan berikutnya. Respons itu mungkin akan memastikan resesi yang dangkal,” imbuhnya.

Pasar ekuitas juga bereaksi karena takut akan terjadinya resesi. Indeks Dow Jones anjlok lebih dari 700 poin – hampir 2 persen – dalam perdagangan akhir pelan lalu, dan indeks S&P 500 yang lebih luas turun 2 persen, dengan bank-bank Wall Street menyerukan pemotongan suku bunga lebih besar dan lebih banyak daripada yang diperkirakan sejauh ini.

Ekonom di Goldman Sachs dan Citigroup, antara lain, mengubah ekspektasi mereka menjadi pemotongan suku bunga setengah poin pada bulan September dan November, dan pemotongan suku bunga seperempat poin pada Desember. Semua ini terjadi setelah seminggu data yang lemah, termasuk perlambatan manufaktur dan sentimen ketenagakerjaan negatif, yang menunjukkan tren penurunan ekonomi.

Masih ada yang Optimistis

Tidak semua orang setuju dengan skenario ini. “Kami tidak melihat adanya resesi meskipun pasar saham saat ini berperilaku seperti mengantisipasi terjadinya resesi,” kata Nancy Vanden Houten, kepala ekonom di Oxford Economics.

“Laporan pekerjaan jelas lebih lemah dari yang diharapkan sebagian besar ekonom dan kami tidak mengabaikan tanda-tanda pasar tenaga kerja melemah, tetapi ada hal-hal yang terjadi di balik permukaan yang perlu diperhitungkan saat mencermati data hari Jumat,” kata Vanden Houten.

Pertama, ada lebih banyak orang yang mencari pekerjaan – sekitar 420.000 orang memasuki dunia kerja bulan lalu. Mereka adalah imigran baru yang memasuki dunia kerja, dan “itu hal yang baik”, Vanden Houten menegaskan.

Selain itu, dalam survei pekerjaan, ada lonjakan besar dalam jumlah orang yang mengaku mengalami PHK sementara atau tidak bekerja karena cuaca buruk, merujuk pada perlambatan pekerjaan di Texas karena Badai Beryl bulan lalu.

“Jumlah orang yang melaporkan tidak bekerja pada bulan Juli karena cuaca buruk lebih tinggi daripada bulan-bulan non-musim dingin sejak September 2017, ketika dampak Badai Harvey, Irma, dan Maria menghantam AS Tenggara,” kata Matt Colyar, asisten direktur di Moody’s Analytics.

“Ini hanyalah bukti bahwa apa yang ingin dilakukan oleh Federal Reserve – memperlambat ekonomi, memperlambat lapangan kerja sehingga orang tidak terus-menerus berpindah pekerjaan dan mendapatkan kenaikan gaji 8-10 persen – sedang terjadi. Ini bukan pertanda resesi,” kata Colyar kepada Al Jazeera.

Terlebih lagi, resesi pra-pandemi terakhir memiliki katalisator lain untuk kemerosotan, termasuk utang rumah tangga sangat tinggi dan hipotek yang tidak dapat dipenuhi pemilik rumah. Ini suatu situasi yang terlihat pada saat ini, jelas Vanden Houten.

Namun, data tersebut telah memicu perbincangan tentang apa yang disebut ‘Sahm rule’ atau ‘aturan Sahm’. Mantan ekonom Federal Reserve Claudia Sahm menemukan sebuah ukuran yang meneliti seberapa cepat tingkat pengangguran meningkat untuk menentukan apakah hal tersebut merupakan indikasi resesi. Namun Sahm sendiri meragukan bahwa resesi akan “mendekati waktunya” meskipun ‘Sahm rule’ hampir berlaku.

Untuk saat ini, baik Vanden Houten maupun Colyar tetap berpegang pada prediksi sebelumnya tentang penurunan suku bunga: satu penurunan seperempat poin pada bulan September dan satu pada bulan Desember. “Butuh lebih dari satu laporan pekerjaan buruk agar saya dapat mengatakan bahwa resesi yang mereka tunggu-tunggu setiap hari akhirnya tiba,” kata Colyar.

Semua mata saat ini tertuju pada laporan pekerjaan bulan depan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang pasar kerja dan ekonomi AS. Hingga saat itu, para ekonom seperti Colyar akan melacak klaim pengangguran mingguan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan di lapangan, katanya.

Meskipun demikian, data terkini akan digunakan pada pemilihan presiden mendatang. Tim kampanye mantan Presiden Donald Trump mengatakan laporan tentang pekerjaan tersebut adalah “bukti lebih lanjut bahwa ekonomi Biden-Harris mengecewakan rakyat Amerika”, kantor berita The Associated Press melaporkan.

Pelemahan ekonomi apa pun akan merugikan petahana, kata Vanden Houten. Meskipun Presiden Joe Biden tidak lagi mencalonkan diri, Wakil Presiden Kamala Harris adalah bagian dari Tim Biden dan ini dapat berdampak negatif padanya, Vanden Houten menegaskan.