Negara Runtuh jika Bergantung Impor, Guru Besar IPB: Kedaulatan Pangan Harga Mati!


Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dwi Andreas Santosa, mengingatkan suatu pemerintahan untuk lebih serius dalam mengatasi masalah pangan.

Sesuai dengan pernyataan Ir. Soekarno, Andreas mengaku setuju bahwa pangan merupakan persoalan hidup dan matinya bangsa. Karena itu, bukan tidak mungkin jika pemerintah bisa jatuh apabila tidak baik dalam mengelola pangan.

“Ini yang disampaikan beliau dan ini sangat betul. Ketika kita melupakan pangan, selesailah sudah,” kata Andreas dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Kedaulatan Pangan di Indonesia (Beras, Kedelai dan Jagung)’ di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta, Kamis (15/8/2024).

Andreas lantas mencontohkan ketika tahun 2011 terjadi krisis pangan dunia. Saat itu, negara-negara terutama Afrika Utara dan Timur Tengah sangat tergantung pada impor, yakni Gandum.

“Dan saat itu terjadi kenaikan harga gandum hampir dua kali, di tahun 2011, runtuhlah semua negara-negara tersebut,” ucapnya.

Ia menjelaskan akibat kejadian tersebut sebanyak dua juta orang akhirnya mengungsi. Kejadian ini merupakan yang terbesar secara sejarah perang dunia kedua.

Selain itu, bencana pangan terjadi di Negara Afrika Bagian Utara, yakni Sudan pada tahun 2018. Prof. Andreas menyebut bahwa ketika itu harga gandum naik relatif tinggi, pemerintah Sudan menaikkan harga roti 3 kali lipat. Hasil akhirnya, pemerintahan jatuh pada April 2019.

Lalu, dia juga mengungkit kasus Presiden Sri Lanka melarikan diri pada tahun 2022 akibat protes dari warga negara dipicu penurunan produksi pangan.

“Lalu apa yang terjadi? Kita menyaksikan di berita-berita. Rakyat masuk ke istana dan berenang di kolam renang istana. Dan Presiden Sri Lanka melarikan diri. Itu juga persoalan pangan,” ujarnya.

Andreas mengatakan Indonesia juga sudah pernah mengalami ketika Pemerintahan Soeharto. Dari data internasional pada tahun 1998, Presiden Soeharto mengimpor beras sebanyak 6,4 juta ton, namun akhirnya tetap jatuh meskipun mendapatkan dukungan kuat dari parlemen.

“Bisa dibayangkan pemerintah yang begitu kuat, menguasai parlemen, 74 persen, jatuh hanya dalam tempo satu tahun. Sekali lagi, karena apa? Karena pangan. Kalau kita tidak hati-hati terkait soal pangan ini, jangan-jangan pemerintah kita nanti ke depan jatuh lagi,” tuturnya.