Dengan rekam jejak sekian banyak pernyataannya yang kontroversial dan bikin gaduh, mencopot Prof Yudian dari BPIP jelas pilihan paling rasional
Meski dalam berbagai pemberitaan akhir-akhir ini Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof Yudian Wahyudi, telah menyatakan meminta maaf terkait pencopotan jilbab 18 anggota Paskibraka Putri, sejatinya hal itu bisa disebut omong kosong. Permintaan maafnya pun boleh dibilang sekadar “lip service”, alias tindakan berpura-pura mendukung atau menyetujui sesuatu secara verbal, tetapi sama sekali kosong dari komitmen yang nyata.
Mengapa? Karena langsung setelah pernyataan meminta maaf itu, Prof Yudian kontan beralasan—lebih tepatnya berkilah—bahwa BPIP tidak melakukan pemaksaan kepada mereka untuk melepas jilbab. “Penampilan Paskibraka Putri dengan mengenakan pakaian, atribut dan sikap tampang sebagaimana terlihat pada saat pelaksanaan tugas kenegaraan yaitu Pengukuhan Paskibraka adalah kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada,” ujar Prof Yudian.
Yudian bahkan secara berlebihan memastikan bahwa “Paskibraka putri hanya melepas hijab saat pengukuhan paskibraka dan pengibaran Sang Merah Putih pada upacara kenegaraan. Dalam kesempatan lain, Paskibraka yang berhijab bisa mengenakan jilbabnya”. Berlebihan, karena secara common sense pun sudah pasti demikian. Apa urusan Yudian dan BPIP untuk melarang anggota Paskibraka Putri berjilbab saat mereka jalan-jalan ke mal, misalnya?
Kilah Prof Yudian bahwa anggota Paskibraka Putri yang berjilbab melepas hijab dengan suka rela, itu pun alasan yang lemah. Bahkan bila mengacu pernyataannya sendiri, yakni,”…adalah kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada,” boleh dibilang ada unsur—mungkin tak sepenuhnya tepat–contradictio in terminis alias mengandung kontradiksi internal. Pasalnya, dalam kalimat lanjutannya dikatakan, “Pada saat pendaftaran, setiap calon Paskibraka tahun 2024 mendaftar secara sukarela untuk mengikuti seleksi administrasi dengan menyampaikan surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai Rp 10.00).”
Untuk para remaja seusia anggota-anggota Paskibraka itu, menjadi anggota Paskibraka adalah cita-cita tinggi dan mulia remaja usia mereka. Manakala mereka dihadapkan pada aturan—Surat Edaran Deputi Diklat Nomor 1 tahun 2024, yang terasa dipaksakan karena sebelumnya pun Paskobraka berjilbab sudah jadi realitas lumrah–, kita para orang tua ini sebenarnya tega memaksa mereka berhadapan dengan pilihan “buah simalakama”. Dengan angkuhnya, kita generasi tua, seolah bilang,”Kau boleh jadi anggota, tapi copot dulu jilbabmu!” Keangkuhan yang sejatinya terarah ke langit, karena aturan berjilbab pun turun dari Arasy.
Alhasil, sejatinya pernyataan Yudian bahwa “BPIP menghormati hak kebebasan penggunaan jilbab” juga omong kosong.
Yang ada, BPIP sesungguhnya sama sekali tak peduli dengan toleransi, bahkan lebih lanjut boleh dikatakan melakukan melakukan diskriminasi karena keyakinan agama. Kita tahu, UUD 1945 memberikan jaminan, perlindungan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan menyatakan pikiran dan sikap sesuai agama, sebagaimana Pasal 28E ayat (1) Jo Pasal 29 ayat (1) dan (2). Hak kebebasan beragama tergolong prinsip non-derogability yang harus kita hormati, yakni negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun. Prinsip non-derogability itu merujuk pada aturan dalam hukum internasional, yang menyatakan bahwa hak-hak tertentu tidak boleh dikurangi, dibatasi, atau diabaikan oleh negara dalam keadaan apa pun, termasuk dalam situasi darurat, perang, atau krisis nasional.
Dalam hukum kita, hal itu termuat jelas dalam Pasal 4 UU 39/1999 Tentang HAM, bahwa hak beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Mengenakan jilbab tentu saja jelas termasuk dalam hal itu.
Menjaga marwah BPIP
Dengan pernyataan terakhirnya soal permohonan maaf itu, jelas BPIP bergeming—artinya kukuh, tak goyah– pada sikapnya. Pernyataan Kepala BPIP,”Paskibraka Putri hanya melepas hijab saat pengukuhan Paskibraka dan pengibaran Sang Merah Putih pada upacara kenegaraan” tegas mengandung arti bahwa pada Upacara 17 Agustus mendatang, ke-18 anggota Paskibraka Putri yang berjilbab itu tetap harus melepas kerudung mereka.
Karena itu, meski baru saya dapat dari sebuah WA grup—katakankah baru sebatas rumors–, bahwa ada satu Pemprov yang akan bersikap tegas,”… Kantor Gubernur akan berkoordinasi dengan (anggota) Paskibraka (menyebut sebuah provinsi). Kalau masih tetap disuruh lepas jilbab, akan diminta pulang..”, sikap itu apple to apple. Ketegasan memang harus dijawab tegas, sebagaimana orang gila hanya layak berdebat dengan kaum “sudrun”.
Urusan ini tentu harus segera diselesaikan tuntas sebelum besok, 17 Agustus.
Selebihnya, kita sadar sepenuhnya bahwa BPIP adalah lembaga terhormat, dengan marwah dan kredibilitas yang seharusnya terpelihara baik. Sayangnya, rekam jejak Prof Yudian selama ini tak mendukung upaya terpuji untuk menjaga marwah lembaga kredibel tersebut.
Ada banyak catatan buram tentang beliau, semasa, bahkan sebelum posisi terhormat itu ia emban sebagai amanah publik. Misalnya, bebeapa waktu lalu Prof Yudian pernah melontarkan beberapa pernyataan ganjil, seperti bahwa “Agama adalah Musuh Pancasila”, yang juga memancing kegaduhan publik. Yudian juga mengkritik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) degan menyatakannya tidak perlu ada karena bisa menimbulkan multitafsir terhadap Pancasila.
Ia juga sempat membuat pernyataan terkait “Ketuhanan yang Berkebudayaan”, yang juga mengundang kontroversi. Banyak yang karena lontaran pernyataan itu menafsirkan bahwa BPIP ingin mereduksi konsep ketuhanan dalam Pancasila menjadi lebih bersifat budaya, yang dianggap merendahkan nilai ketuhanan itu sendiri.
Sebelum diangkat menjadi kepala BPIP, Yudian juga dianggap aneh sehubungan lolosnya seorang kandidat doktor di UIN Sunan Kalijaga dalam sidang disertasi untuk mencapai gelar doktor. Saat itu Prof Yudian bertindak sebagai ketua sidang, bersama Waryono Abdul Ghofur (sekretaris sidang), Khoiruddin (promotor), dan Sahiron. Mereka menguji disertasi calon doktor Abdul Aziz, yang pada Rabu, 28 Agustus 2019 itu mempertahankan disertasi berjudul “Konsep Milk Al Yamin: Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non-Marital”.
Aziz berhasil mempertahankan disertasinya, berpegang pada sikap bahwa hubungan intim di luar nikah tidak melanggar hukum Islam. Aziz meyakini bahwa penggerebekan pasangan selingkuh atas dasar suka sama suka itu kriminalisasi. “Kriminalisasi bertentangan dengan hak asasi manusia,”ujarnya kepada wartawan. Menurut Aziz, dengan menyandarkan pendapat pada pendapat Muhammad Syahrur, guru besar emeritus Fakultas Teknik Sipil di Universitas Damaskus, hubungan intim disebut zina bila dipertontonkan ke publik. Bila hubungan intim dilakukan di ruang privat, berlandaskan suka sama suka, keduanya sudah dewasa, tidak ada penipuan, dan niatnya tulus, maka tidak bisa disebut zina. Hubungan intim tersebut halal. Asal tahu, Aziz mendapatkan “sangat memuaskan” dalam sidang tersebut.
NU menarik dukungan
Yang menarik, banyak pemberitaan terakhir seolah menghubungkan kisruh jilbab di Paskibraka ini dengan keberadaan Megawati sebagai ketua Dewan Pengarah di BPIP. Ada pula yang seolah menghubungkan keberadaan Pof Yudian di BPIP itu berhubungan dengan keberadaan ketua umum PDIP tersebut.
Agak ganjil sebenarnya. Boleh dibilang, agak sukar menghubungkan Prof Yudian yang semasa mudanya merupakan kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang lebih dekat dengan organisasi payungnya, NU. Sehingga, boleh jadi rekomendasi untuk diangkatnya Pof Yudian menjadi kepala BPIP pun tidak berhubungan dengan Megawati dan PDIP.
Yang lebih mungkin, barangkali usulan itu lebih relevan datang dari kantor Wakil Presiden. Kita tahu, Wapres Ma’ruf Amin adalah seorang kyai yang besar dari dan membesarkan NU. Jika benar demikian, mungkin sangat terpuji bila beberapa kejadian yang berjalin kelindan dengan Prof Yudian itu menjadi pertimbangan beliau.
Artinya apakah Solusi untuk menjaga Marwah BPIP itu adalah pencopotan Prof Yudian? Pilihan itu saat ini tampaknya paling rasional. Seperti juga telah dilontarkan banyak kalangan. Misalnya, antara lain, dari Koordinator Presidium Majelis Daerah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Kabupaten Kuningan, Dr. Fahrus Zaman Fadhly. Selain mengecam BPIP dalam urusan jilbab-Paskibraka, Fahrus menuntut Presiden Jokowi sesegera mungkin mencopot Yudian.
“KAHMI berpendapat bahwa jika Yudian Wahyudi tetap dibiarkan menjabat sebagai kepala BPIP, hal ini akan terus menimbulkan keresahan di kalangan umat beragama, khususnya umat Islam, yang merasa hak-haknya terusik dan tidak dihargai,”tulis fahrus dala sebuah pernyataan pers. “Kepemimpinan yang tidak peka dan sering kali menyakiti perasaan umat beragama seperti ini harus dihentikan. Presiden Jokowi harus segera mencopot Yudian Wahyudi dari jabatannya untuk memulihkan kepercayaan publik dan menjaga keharmonisan dalam kehidupan beragama di Indonesia.” Saya kira banyak mayoritas diam yang menyetujui usul Fahrus. [ ]