Jurnalis The New York Post, Jessica Grose, mengungkapkan sebuah pengalaman Leila Wheless, seorang guru berpengalaman yang mencoba menerapkan kecerdasan buatan (AI) di kelasnya. Namun, hasil yang diperoleh justru mengecewakan.
Wheless menemukan bahwa siswa cenderung menerima informasi yang diberikan oleh AI tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut, bahkan saat informasi tersebut tidak masuk akal.
“Mereka tidak memiliki pengetahuan latar belakang atau bahkan stamina intelektual untuk mempertanyakan respons yang tidak mungkin,” keluh Wheless dalam tulisan opininya.
Hal ini menggarisbawahi kekhawatiran yang berkembang secara global tentang dampak AI pada kemampuan berpikir kritis siswa. Berdasarkan studi dari Stanford University menemukan bahwa siswa yang terlalu bergantung pada AI cenderung memiliki keterampilan pemecahan masalah yang lebih lemah.
Setelah melakukan wawancara dengan sejumlah guru, Grose menyimpulkan bahwa meskipun AI memiliki beberapa manfaat dalam mempercepat tugas-tugas rutin, seperti menambahkan sitasi dan melakukan coding dasar, dampak negatifnya cukup signifikan.
Salah satu masalah utama adalah siswa menjadi kurang mampu berpikir kritis dan mengatasi kesulitan dalam tugas-tugas yang menantang. Sarah Martin, seorang guru SMA, mengamati bahwa siswa cenderung cepat menyerah dan beralih ke AI atau teman sebaya saat menghadapi kesulitan.
“Tidak ada lagi semangat pantang menyerah yang tertanam dalam diri mereka,” ujar Martin. Mereka takut dianggap bodoh jika tidak dapat memahami konsep dengan cepat. Sebuah survei di Inggris menemukan bahwa lebih dari 60% guru khawatir AI akan membuat siswa kurang mandiri dalam belajar.
Banyak guru telah menyadari penggunaan AI oleh siswa dan mulai mengubah metode pengajaran mereka.
Beberapa mengurangi tugas di luar kelas atau memperbarui materi pelajaran agar lebih sulit dicurangi. Guru juga berusaha membuat soal ujian yang lebih tahan terhadap AI, seperti yang dilakukan oleh Jerald Hughes, seorang profesor di University of Texas Rio Grande Valley.
“Ini seperti permainan Space Invaders di mana Anda hanya punya beberapa detik untuk mendapatkan jawaban yang tepat,” jelas Hughes. Di Australia, beberapa sekolah telah melarang penggunaan ChatGPT di kelas karena kekhawatiran tentang plagiarisme dan dampaknya pada pembelajaran.
Grose menyoroti kekhawatirannya terhadap pembuat kebijakan yang terlalu optimis tentang AI. Ia mencontohkan kasus Los Angeles Unified School District yang menginvestasikan jutaan dolar dalam chatbot AI yang kemudian gagal.
“Jika para ahli kebijakan berpikir bahwa AI dapat membelah Laut Merah, mungkin bukan hanya siswa kita yang perlu mengembangkan keterampilan berpikir kritis mereka,” sindir Grose.
Ini menunjukkan bahwa meskipun ada potensi besar dalam penggunaan AI di pendidikan, implementasinya harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi.
Beberapa negara seperti Finlandia telah mulai mengembangkan kurikulum yang mengajarkan siswa tentang AI dan bagaimana menggunakannya secara etis dan bertanggung jawab.