Meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran dapat menimbulkan ‘pengeluaran militer tambahan yang signifikan’ bagi Israel. Selanjutnya sudah ditebak, keuangan Israel makin terbebani, beberapa sektor perekonomian terus merosot dan kepercayaan investor dunia pun anjlok.
Minggu lalu, Fitch Ratings menurunkan skor kredit Israel dari A+ menjadi A. Fitch mencatat perang yang terus berlanjut di Gaza dan meningkatnya risiko geopolitik sebagai pendorong utamanya. Lembaga tersebut juga mempertahankan prospek Israel sebagai “negatif”, yang berarti penurunan peringkat lebih lanjut mungkin terjadi.
Setelah serangan mematikan Hamas pada 7 Oktober, pasar saham dan nilai mata uang Israel anjlok. Keduanya mulai bangkit kembali namun, kekhawatiran tentang ekonomi negara itu tetap ada. Awal tahun ini, Moody’s dan S&P juga memangkas peringkat kredit mereka untuk Israel.
Ada juga tanda-tanda dampak buruk di Israel, di mana konsumsi, perdagangan, dan investasi semuanya telah dibatasi. Secara terpisah, Fitch memperingatkan bahwa meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran dapat menimbulkan pengeluaran militer tambahan yang signifikan bagi Israel.
Bank Israel memperkirakan biaya terkait perang untuk tahun 2023-2025 dapat mencapai US$55,6 miliar. Dana ini kemungkinan akan diamankan melalui kombinasi pinjaman yang lebih tinggi dan pemotongan anggaran. Pekan lalu, Biro Statistik Pusat Israel memperkirakan bahwa produksi tumbuh sebesar 2,5 persen (tahunan) pada paruh pertama tahun 2024, turun dari 4,5 persen pada periode yang sama tahun lalu.
Pertumbuhan Melambat
Sebelum pecahnya perang, ekonomi Israel diperkirakan tumbuh sebesar 3,5 persen tahun lalu. Pada akhirnya, produksi hanya meningkat 2 persen. Pada kuartal terakhir tahun lalu dan beberapa minggu setelah perang dimulai, produk domestik bruto (PDB) Israel menyusut hingga 20,7 persen (dalam hitungan tahunan).
Kemerosotan ini disebabkan oleh penurunan konsumsi swasta sebesar 27 persen, penurunan ekspor, dan penurunan investasi oleh perusahaan. Pengeluaran rumah tangga kembali meningkat pada awal tahun, tetapi sejak itu telah mereda. Penurunan yang lebih tajam dapat dihindari berkat sektor teknologi yang sangat penting di negara itu, yang sebagian besar tidak terpengaruh oleh pertempuran.
Israel juga memberlakukan kontrol ketat terhadap pergerakan pekerja Palestina, dengan mengabaikan hingga 160.000 pekerja. Untuk mengatasi kekurangan tersebut, Israel telah menjalankan program perekrutan di India dan Sri Lanka dengan hasil yang beragam. Namun, pasar tenaga kerja masih kekurangan pasokan, terutama di sektor konstruksi dan pertanian.
Menurut perusahaan survei bisnis CofaceBDI, sekitar 60.000 perusahaan Israel akan tutup tahun ini karena kekurangan tenaga kerja, gangguan logistik, dan sentimen bisnis yang lesu. Rencana investasi pun tertunda. Pada saat yang sama, jumlah kedatangan wisatawan terus menurun.
Sementara itu, perang telah memicu peningkatan tajam dalam belanja pemerintah. Menurut Elliot Garside, analis Timur Tengah di Oxford Economics, terjadi peningkatan 93 persen dalam belanja militer dalam tiga bulan terakhir tahun 2023, dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2022.
“Pada tahun 2024, data bulanan menunjukkan pengeluaran militer akan menjadi sekitar dua kali lipat dari tahun sebelumnya,” kata Garside. Sebagian besar peningkatan itu akan digunakan untuk gaji prajurit cadangan, artileri, dan untuk sistem pertahanan Iron Dome Israel. Garside mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pengeluaran ini sebagian besar dibiayai oleh penerbitan utang domestik.
Israel juga menerima sekitar US$14,5 miliar atau sekitar Rp223 triliun dana tambahan dari Amerika Serikat tahun ini, di samping bantuan tahunan sebesar US$3 miliar atau Rp46 triliun yang diberikan AS kepada negara tersebut. Garside mencatat, “Kami belum melihat adanya pemotongan besar pada bagian anggaran lainnya [seperti perawatan kesehatan dan pendidikan], meskipun ada kemungkinan pemotongan akan dilakukan setelah konflik berakhir.”
Jika tidak ada perang regional skala penuh, Oxford Economics memperkirakan bahwa ekonomi Israel akan melambat menjadi pertumbuhan 1,5 persen tahun ini. Pertumbuhan yang melambat dan defisit yang tinggi akan memberikan tekanan lebih lanjut pada profil utang Israel, yang kemungkinan akan meningkatkan biaya pinjaman dan melemahkan kepercayaan investor.
Keuangan Publik yang Terpuruk
Fitch memperkirakan Israel akan terus meningkatkan belanja militernya sebesar 1,5 persen dari PDB dibandingkan dengan tingkat sebelum perang, dengan konsekuensi yang tidak dapat dihindari bagi defisit publik. Laporan pemeringkatan minggu lalu mencatat bahwa utang [akan] tetap berada di atas 70 persen dari PDB dalam jangka menengah.
Laporan tersebut menekankan bahwa keuangan publik telah terpukul, dan bahwa “kami memproyeksikan defisit sebesar 7,8 persen dari PDB pada tahun 2024 [naik dari 4,1 persen tahun lalu]”. Menteri Keuangan sayap kanan Israel Bezalel Smotrich secara terbuka tidak setuju, dan menyatakan keyakinannya bahwa defisit akan turun kembali ke 6,6 persen tahun ini.
“Penurunan peringkat setelah perang dan risiko geopolitik yang ditimbulkannya adalah wajar,” kata Smotrich, menurut laporan media. Ia menambahkan bahwa anggaran yang bertanggung jawab akan segera disahkan, dan peringkat Israel akan naik “dengan sangat cepat”. Untuk saat ini, masih ada keraguan tentang jadwal anggaran.
Ada spekulasi bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menunda paket fiskalnya, yang mungkin terbukti tidak populer di dalam negeri. Kegagalan meloloskan anggaran pada tanggal 31 Maret 2025 akan secara otomatis memicu pemilihan umum dadakan.
Awal minggu ini, kepala Bank Sentral Israel – Amir Yaron – meminta Netanyahu untuk mempercepat anggaran negara 2025, karena penundaan lebih lanjut berisiko memicu ketidakstabilan pasar keuangan.
Fitch meyakini bahwa Israel akan menerapkan kombinasi langkah penghematan dan kenaikan pajak. Namun, dalam laporan mereka pada tanggal 12 Agustus, analis Fitch Cedric Julien Berry dan Jose Mantero menunjukkan bahwa “perpecahan politik, politik koalisi, dan keharusan militer dapat menghambat konsolidasi [fiskal]”.
Terlebih lagi, lembaga pemeringkat tersebut memperingatkan bahwa konflik di Gaza dapat berlangsung hingga tahun 2025 dan ada risiko konflik tersebut meluas ke wilayah lain.
Omer Moav, seorang profesor ekonomi Israel di Universitas Warwick mengatakan, bagi Israel, perang yang berlangsung lama akan menimbulkan biaya yang besar dan defisit yang lebih besar. Selain melemahkan profil utang Israel, Moav mengatakan pertempuran yang berkepanjangan akan menimbulkan biaya lain, seperti kekurangan tenaga kerja dan kerusakan infrastruktur, serta kemungkinan sanksi internasional terhadap Israel.
“Israel saat ini mengabaikan fakta bahwa ekonomi dapat menyebabkan kerusakan [masyarakat] yang lebih besar daripada perang itu sendiri,” kata Moav. “Pemerintah tidak berperilaku secara bertanggung jawab. Apakah mereka ingin menghindari biaya perang, atau apakah konflik yang berkelanjutan melayani kepentingan politik?”