1% yang Memberatkan


Ketua Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Prabowo –Gibran, Sufmi Dasco Ahmad, pada 16 Agustus 2024, mengatakan di berbagai media bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan dinaikkan menjadi 12%, tahun depan. Dasarnya adalah Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi peraturan Perpajakan yang akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% mulai  tahun 2025 mendatang.  Sepintas, kenaikan itu seperti tak seberapa, hanya 1%. Tapi, Rencana ini tetap perlu menjadi perhatian serius karena kenaikan 1% itu sudah cukup untuk menekan daya beli masyarakat.

Di satu sisi, 1% kenaikan PPN bisa meningkatkan penerimaan negara sekitar Rp 70 triliun.  Namun, Efek domino kenaikan PPN dalam rantai produksi dan distribusi yang panjang akan menyebabkan harga barang jauh lebih mahal di tingkat konsumen. Ditambah dengan harga pangan yang terus melonjak– beras, gula, dan minyak goreng masing-masing naik 13, 20, dan 9 persen secara tahunan per 16 Agustus 2024 (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis)—maka  ini bakal memberikan tantangan kian berat bagi masyarakat. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan ini untuk menghindari dampak negatif yang lebih luas terhadap ekonomi dan kesejahteraan rakyat. 

Sekadar mengingatkan, kenaikan PPN dari 10% ke 11% pada tahun 2022 juga menyebabkan meroketnya angka inflasi dari 1,87 persen di tahun 2021 menjadi 5,51 persen pada tahun 2022. Kondisi ini yang perlu menjadi bahan pertimbangan ketika pemerintah ingin menaikkan kembali PPN menjadi 12% pada 2025. Karena, lagi–lagi masyarakat yang akan menjadi korbannya. Kenaikan PPN nantinya dapat menekan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang pada sebelum pandemi covid-19 mampu mencapai 5%, menjadi hanya sekitar 4,8 persen di tahun 2025.

Padahal, kondisi masyarakat saat ini masih cukup memprihatinkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2024, sudah ada 54,36% pekerja Indonesia yang mendapat penghasilan lebih kecil dari upah minimum provinsi (UMP).  Besarnya jumlah pekerja bergaji minim itu merupakan yang tertinggi dalam sembilan tahun terakhir. Ketika pandemi saja, porsi pekerja yang memperoleh gaji di bawah UMP paling banter 51,25%.

Pemerintah perlu menyadari, ada penurunan kesejahteraan pekerja pasca pandemi. Nah, jika mereka ditekan lagi dengan kenaikan PPN, menjadi 12%, maka itu bak menabur garam di atas luka. Kasihan. Kaum pekerja bisa kian terjerumuskan ke jurang kemiskinan.  

Apalagi, tarif PPN di Indonesia, yang 11% saat ini, adalah yang tertinggi kedua di Asia Tenggara, setelah Filipina. Thailand, Vietnam, dan Singapura masing-masing hanya menerapkan PPN sebesar 7, 10, dan 9 persen. Jika pemerintah jadi menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada, maka Indonesia dan Filipina akan bersama-sama menjadi negara pengutip PPN terbesar di Asia Tenggara.

Betul, pemerintah perlu dana besar untuk menjalankan programnya ke depan. Untuk program makan bergizi gratis, misalnya, diperlukan dana sekitar Rp 71 triliun pada 2025. Belum lagi untuk melanjutkan berbagai proyek strategis nasional (PSN). Termasuk juga pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Tapi pemerintah mestinya lebih kreatif ,mencari cara lain, bukan cuma bisa memajaki rakyat kecil melalui kenaikan tarif PPN. Kebanyakan penduduk Indonesia itu, sekitar 83%, hanya memiliki gaji di bawah Rp 2 juta. Itu kata SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Maret 2023. Nah, kalau kebutuhan mereka ditambahi dengan kenaikan tarif PPN, maka daya belinya bakal makin lemah dan konsumsi masyarakat berkurang. Ujung-ujungnya, pertumbuhan juga bisa tertekan.

Bukan apa-apa, meski dibilang hanya naik 1%, tapi penerapan PPN di Indonesia mengikuti sistem pertambahan nilai pada setiap rantai nilai produksi dan rantai distribusi yang panjang. Setiap barang bisa terkena PPN berkali-kali. Akibatnya, konsumen atau pembeli akan membeli dan membayar jauh lebih mahal dari ongkos produksi. Makanya, sebelum memutuskan kenaikan, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam dan komprehensif akan kebijakan ini.

Kenaikan PPN juga akan berdampak negatif dalam jangka pendek terhadap output dari suatu proses produksi (Dabla-Norris and Lima, 2018).  Sebaliknya, penurunan PPN dapat berdampak positif terhadap perekonomian (Mgammal et al, 2023). Penurunan tarif PPN akan membuat masyarakat lebih banyak membelanjakan uangnya sehingga mendorong permintaan domestik dan berdampak pada pertumbuhan perekonomian.

Apakah memang menaikkan tarif PPN menjadi satu–satunya cara dalam meningkatkan penerimaan negara? Seharusnya tidak.  Menaikkan PPN jelas bukan satu–satunya instrumen untuk meningkatkan pendapatan negara.  Pemerintah bisa meningkatkan tax base dengan ekstensifikasi cukai. Misalnya untuk produk yang berdampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan seperti makanan dan minuman yang tinggi gula, minuman berkarbonasi, dan parfum.

Atau, bisa juga pemerintah menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan untuk perusahaan tambang batubara sebesar 40 – 45%. Lalu, Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) dipatok menjadi 20%. Dengan demikian, pemerintah dapat meningkatkan pendapatan negara melalui bantuan orang-orang yang sudah berpunya—bukan rakyat kebanyakan.

Jika memang pemerintah terus ngotot menaikkan tarif PPN, sebaiknya DPR menolak dengan tegas usulan melalui penetapan Undang-Undang APBN 2025. DPR harus menyepakati aturan yang menjelaskan bahwa PPN tetap 11% pada tahun tersebut.  Para anggota dewan dari berbagai partai harus bersatu menentang kebijakan ini. Menaikkan tarif PPN hanya akan memperburuk kondisi masyarakat. DPR harus menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat dengan menjunjung tinggi kepentingan rakyat . Kalau memang mereka sadar akan hal itu…

 

Muhammad Nalar Al Khair
Peneliti Pangan, Desa, dan UMKM Sigmaphi Research