Tujuh Tahun Pengungsi Rohingya, Terlupakan Dunia dan Pudarnya Harapan untuk Pulang


Tujuh tahun setelah tindakan keras militer brutal di Myanmar yang memaksa Hasina Begum dan keluarganya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh, hidup hanyalah sebuah perjuangan. Harapan untuk kembali ke kampung halaman pun kian pudar.

Ibu empat anak ini merupakan salah satu dari lebih dari 730.000 warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh pada bulan Agustus 2017 untuk menghindari kekejaman dan penganiayaan yang menurut PBB merupakan genosida. Hari Minggu (25/8/2024), yang dikenal sebagai “Hari Genosida Rohingya,” menandai peringatan eksodus massal mereka.

“Tidak ada jalan keluar dari penderitaan ini. Di sini, kami menjalani hidup yang penuh perjuangan, ketidakpastian, ketidakamanan, dan tanpa harapan untuk masa depan,” kata Begum kepada Arab News.

Meskipun warga Rohingya telah menghadapi diskriminasi dan penganiayaan sistematis selama puluhan tahun di negara yang mayoritas beragama Buddha tersebut, kehidupan di kamp-kamp pengungsian Bangladesh “tidaklah bermartabat,” katanya.

Suku Rohingya, yang oleh PBB digambarkan sebagai salah satu kelompok minoritas paling teraniaya di dunia, tidak diakui sebagai kelompok etnis pribumi di Myanmar, yang menolak hak mereka untuk mengklaim kewarganegaraan.

Begum kini berada di antara 1 juta pengungsi yang tinggal di kamp-kamp penuh sesak di Cox’s Bazar, yang telah berubah menjadi pemukiman pengungsi terbesar di dunia. Sementara bantuan kemanusiaan di pemukiman itu terus menyusut.

“Anak-anak saya menderita kekurangan gizi karena saya tidak dapat memberi mereka makanan yang cukup. Harga kebutuhan pokok yang mahal telah menempatkan kami dalam situasi yang sangat sulit, dan semakin hari semakin sulit,” katanya.

Bantuan internasional untuk Rohingya telah menurun sejak tahun 2020, dengan Program Pangan Dunia mengurangi bantuan pangan untuk para pengungsi sejak tahun lalu setelah permohonan sumbangannya tidak dipenuhi. Ini memperparah kerawanan pangan di kamp-kamp tersebut.

Namun, makanan hanyalah salah satu dari sekian banyak kekhawatiran Begum, karena para pengungsi Rohingya berjuang tanpa peluang kerja, kurangnya pendidikan dan layanan kesehatan yang layak, serta berkurangnya harapan untuk pemulangan bermartabat.

Meskipun pemulangan Rohingya ke Myanmar telah menjadi agenda selama bertahun-tahun, proses pemulangan yang didukung PBB belum juga dimulai meskipun ada tekanan dari Bangladesh dan organisasi internasional. “Kami telah menyaksikan banyak diskusi di PBB dan platform regional lainnya, tetapi nasib kami tetap sama,” kata Begum.

“Negara-negara adikuasa seharusnya melakukan sesuatu yang efektif untuk memastikan pemulangan kami dengan bermartabat dan sesuai hak. Namun, tampaknya para pemain utama di platform global didorong oleh kepentingan dan agenda mereka sendiri. Terkadang, menurut saya, kami seperti boneka atau alat yang tunduk pada keinginan negara-negara adikuasa.”

Negara-negara seperti AS sering berbicara tentang perlindungan hak asasi manusia, tetapi Begum mengatakan pembicaraan seperti itu tidak menghasilkan tindakan nyata untuk Rohingya. “Dalam kasus kami, kami tidak melihat banyak upaya untuk melindungi hak-hak kami. Ini situasi yang memalukan dan tampak seperti standar ganda.”

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak warga Rohingya melakukan pelayaran yang sangat berbahaya menyeberangi Samudra Hindia untuk mencari kehidupan yang lebih baik, dengan harapan dapat mencapai negara-negara seperti Malaysia atau Indonesia. Namun, PBB memperkirakan bahwa satu dari delapan orang tewas atau hilang dalam upaya tersebut.

Komunitas internasional harus berbuat lebih banyak untuk rakyatnya, kata aktivis hak-hak Rohingya Mohammed Rezuwan Khan. “Kurangnya tekanan internasional dan kegagalan untuk mengambil tindakan konkret terhadap junta Myanmar dan Tentara Arakan hanya menambah penderitaan kita dan tampaknya memberi para pelaku kesempatan untuk melanjutkan kekejaman mereka,” kata Khan, yang bersama keluarganya selamat dari genosida tahun 2017, kepada Arab News.

Ratusan warga Rohingya dilaporkan terbunuh saat mencoba melarikan diri dari pertempuran yang sedang berlangsung antara pemerintah militer Myanmar dan Tentara Arakan, kelompok pemberontak etnis bersenjata di Negara Bagian Rakhine, lokasi pusat kekerasan tahun 2017.

“Pemulangan masih terasa jauh, dan saya khawatir meskipun itu terjadi, kondisi di Myanmar masih belum aman atau bermartabat bagi Rohingya, karena Tentara Arakan dan junta militer semakin gencar menargetkan Rohingya,” kata Khan.

Pada hari Jumat (23/8/2024), Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Turk merupakan salah satu pihak menyuarakan keprihatinannya atas memburuknya situasi di Rakhine, yang menurut Amnesty International “sangat mirip” dengan kekerasan terhadap Rohingya tujuh tahun lalu.

Namun sejak 2017, negara-negara paling kuat di dunia, seperti AS, China, dan Jepang, belum memberikan tekanan maksimal terhadap otoritas Myanmar, kata Prof. Imtiaz Ahmed, pakar hubungan internasional dan mantan dosen di Universitas Dhaka. “Karena semua negara ini adalah anggota PBB, (PBB) seharusnya bisa memulai upaya bersatu yang kuat. Namun, itu tidak terjadi di sini,” kata Ahmed.

Pertempuran baru-baru ini di Rakhine telah membawa lapisan baru pada krisis ini, tetapi juga merupakan kesempatan bagi komunitas internasional untuk “mengambil kesempatan” pada saat ini, kata Ahmed.

“Kita harus ingat bahwa setiap krisis juga menciptakan peluang. Jika kita berdiam diri dan membiarkan krisis berlalu, maka tidak akan ada solusi. Tidak diragukan lagi bahwa kurangnya upaya kolektif di tingkat internasional.”

Di Bangladesh, yang menampung pengungsi Rohingya menghabiskan biaya pemerintah sekitar $1,2 miliar per tahun. Karenanya, dukungan internasional untuk memastikan pemulangan ke Myanmar dan kehidupan yang bermartabat dalam masa penantian sangat penting.

“Masyarakat internasional harus lebih terlibat dengan Myanmar untuk memulangkan warga Rohingya, dan sampai saat itu tiba, mereka harus terus memberikan dukungan kepada Bangladesh,” kata Mizanur Rahman, komisaris bantuan dan pemulangan pengungsi Bangladesh di Cox’s Bazar.

Warga Rohingya sangat terdampak oleh lambatnya proses penyelesaian krisis, yang membuat mereka berada dalam situasi yang sulit dan membuat frustrasi. “Jika mereka tidak dapat kembali ke tanah air mereka … banyak warga Rohingya kini berpikir bahwa masa depan generasi mendatang mereka kini benar-benar dipertaruhkan.”