Mengenang Kota Kelahiran Kakeknya, Perempuan Singapura Kayuh Sepeda 1.630 Km ke Bagansiapiapi


Irene Tan, seorang guru pendidikan anak usia dini dan penggemar berat bersepeda, melakukan perjalanan solo sejauh 1.630 kilometer dari Singapura ke Bagansiapiapi, di Provinsi Riau. Tujuan utamanya adalah mengunjungi tempat kelahiran kakeknya, serta melanjutkan perjalanan hingga ke ujung utara Indonesia di Pulau Sabang, Aceh. 

Perjalanan tiga minggu yang dilakukannya pada tahun lalu menjadi pengalaman penuh tantangan, pertemuan tak terduga, serta penemuan diri.

Irene, 50 tahun, menggabungkan kecintaannya pada bersepeda dengan keinginannya untuk menyusuri kembali akar keluarganya. 

“Sepuluh tahun lalu, saya sangat tidak fit dan tidak suka berpetualang. Namun, setelah menemukan bersepeda, saya merasa begitu bebas dan berenergi,” kenangnya. 

Kecintaan Irene pada bersepeda berkembang setelah mengikuti perjalanan bersepeda rekreasi di Taiwan pada tahun 2014. Sejak itu, dia aktif dalam klub-klub bersepeda di Singapura dan mendapatkan banyak tips tentang rute terbaik serta bagaimana menangani situasi darurat saat sendirian di jalan.

Misi utama Irene adalah mengunjungi Bagansiapiapi, tempat kelahiran kakeknya, yang berada di pesisir timur Sumatra. 

“Mendengar cerita tentang masa kecil kakek saya sebelum dia pindah ke Singapura sekitar Perang Dunia II membuat saya penasaran dan ingin melihat sendiri tempat tersebut,” kata Irene. 

Selain itu, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hingga ke titik paling utara Indonesia di Pulau Sabang.

Irene merencanakan perjalanannya dengan matang. “Saya memastikan rute perjalanan saya terbagi dalam lima tahap utama,” jelasnya. 

Tahapan ini meliputi perjalanan dari Singapura ke Malaka, kemudian menyeberang ke Dumai di Sumatra, dilanjutkan ke Bagansiapiapi, Danau Toba, Medan, hingga Aceh. Dengan jarak total lebih dari 1.600 kilometer, Irene menargetkan untuk bersepeda sejauh 100 hingga 140 km per hari.

Perjalanan ini tidak hanya membawa Irene ke tempat-tempat yang bersejarah bagi keluarganya, tetapi juga mempertemukannya dengan orang-orang baru yang tak terduga. 

“Di perjalanan menuju Danau Toba, saya hampir tersesat dan nyaris masuk ke hutan sebelum sebuah keluarga lokal menghentikan saya dan mengajak saya bermalam di rumah mereka,” ceritanya. 

Keluarga tersebut tidak hanya menawarkan tempat menginap, tetapi juga menemani Irene sejauh 15 kilometer keesokan harinya untuk memastikan ia berada di jalur yang benar.

Namun, petualangannya tidak selalu mulus. “Ada beberapa kali saya mengalami pelecehan verbal dan fisik dari pria di jalan,” ungkapnya. 

Salah satu insiden terjadi ketika seorang pengendara motor memperlambat laju kendaraannya dan menyentuh paha Irene saat ia sedang bersepeda. “Saya terlalu terkejut untuk bereaksi, dan mereka dengan cepat menghilang,” tambahnya. 

Beruntung, ada warga lokal lain yang membantu Irene dan memberinya air minum setelah insiden tersebut, yang membuatnya merasa lebih tenang.

Setelah berhasil mencapai Monumen 0 KM di Sabang, Irene merasa bangga. “Saya tidak percaya saya benar-benar melakukannya. Perjalanan ini adalah pengalaman tak terlupakan dan saya sangat bangga bisa mewujudkannya,” katanya. 

Irene juga mencatat semua pengalaman uniknya selama perjalanan itu di ponselnya, termasuk kenangan tentang tanah kelahiran kakeknya yang sekarang telah menjadi bagian dari hidupnya.

“Jika saya memberi tahu diri saya yang lebih muda bahwa pada usia 49 tahun, dia akan menjadi seorang pesepeda yang bugar dan melakukan perjalanan solo dari Singapura ke Indonesia sebagai petualangan warisan untuk kakeknya, saya yakin dia akan menertawakan saya – tetapi saya berhasil melakukannya,” tutup Irene dengan penuh kebanggaan. [Channel News Asia]