Ketua Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI), Noffendri Roestam menegaskan bahwa tidak ada perbedaan kualitas antara obat paten dan obat generik.
Pernyataan ini disampaikan Noffendri menyusul masih adanya kekhawatiran masyarakat terkait efektivitas obat generik yang sering dianggap kurang manjur dibandingkan obat paten.
“Obat paten adalah obat yang pertama kali ditemukan oleh seseorang dan biasanya didaftarkan hak patennya yang berlaku selama 15-20 tahun,” ujar Noffendri kepada wartawan di sela gelaran Pharmacist Xperience di Jakarta, Selasa (27/8/2024).
Noffendri menjelaskan, pemberian hak patent memang sudah menjadi ketentuan, mengingat pihak produsen obat sudah mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk penelitian dan pengembangan obat.
“Untuk bisa mendapatkan obat yang bisa dipasarkan dan efektif itu butuh dana yang tidak kecil, ratusan triliun. Makanya dikasih hak paten, setiap tahun hanya dia yang boleh produksi. Sehingga dia punya hak paten. Jadi paten itu sebenarnya pemahaman dari hak paten,” beber Noffendri.
Namun, lanjut Noffendri, setelah hak paten berakhir, perusahaan farmasi lain dapat memproduksi obat yang sama dengan memperoleh lisensi dari pemegang paten. Obat yang diproduksi setelah hak paten berakhir dikenal sebagai obat generik.
“Orang bilang obat paten itu manjur, bukan. Tapi dia obatnya memiliki hak paten, hak kekayaan. Nah, jadi setelah masa patennya habis, perusahaan farmasi lain boleh memproduksi, dapat lisensi dari si penemu. Boleh memproduksi obat itu, ya bahan bakunya seperti apa? Oh ini, jatuhlah dia ke generik,” jelasnya.
Noffendri menegaskan bahwa meskipun nama merek obat generik dapat bervariasi, kandungan dan spesifikasi obat generik harus sesuai dengan obat patennya.
Ia pun mencontohkan obat paten seperti Panadol, jika memiliki dosis 500 miligram, obat generik dengan nama berbeda juga harus memiliki dosis yang sama.
Dengan pernyataan ini, Noffendri berharap masyarakat tidak lagi ragu dalam menggunakan obat generik karena kualitas dan efektivitasnya telah terjamin dan sesuai dengan standar yang berlaku. Apalagi obat generik sudah mendapat izin dari BPOM.
“Sekali lagi, obat saat dapat izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) itu dia sudah harus memenuhi kriteria seperti halnya obat-obat paten yang ter-registrasi di BPOM,” ungkapnya.
Sebelumnya, Noffendri sempat menjabarkan, dalam industri farmasi terdapat tiga jenis obat yang lazim digunakan yaitu obat originator, obat generik bermerek dan obat generik.
Tercatat, dari ketiganya, obat yang dibandrol dengan harga cukup mahal biasanya dari jenis originator atau yang sering disebut obat paten. Yakni, jenis obat impor dan sudah memiliki hak paten secara global.
Obat tersebut hanya digunakan sekitar 10 persen dari total seluruh penduduk Indonesia. Sementara 90 persennya lagi, memakai obat generik bermerk dan generik biasa, yang dua-duanya diproduksi di Indonesia.