Dalam sejarah Amerika Serikat, kejahatan keras mengalami puncaknya pada dekade 1970-an dan 1980-an. Fenomena itu sering kali dikaitkan dengan krisis ekonomi, pengangguran yang tinggi, dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang gagal.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
Baru Selasa (27/8) kemarin, satu peristiwa kejahatan menghentak kita. Sebuah mobil pengisian anjungan tunai mandiri (ATM) dirampok di Padang Pariaman, Sumatra Barat. Uang tunai yang konon senilai Rp5,6 miliar, raib digasak para garong.
Kejadian ini menarik perhatian publik, menurut saya, bukan hanya karena besarnya jumlah uang yang hilang. Metode kekerasan yang digunakan para pelaku juga mengingatkan kita pada masa lalu, ketika kejahatan semacam ini lebih sering terjadi. Sebagaimana kita ketahui, tahun-tahun terakhir ini, bila bicara soal kejahatan besar, maka yang segera datang ke benak atau layar monitor kita bilamana kita mencarinya di jagat maya, adalah serangkaian kejahatan kerah putih. Korupsi, manipulasi, aksi pat-gulipat pejabat pajak, dan sejenis itu.
Tak ada lagi, atau setidaknya jarang terjadi, kejahatan real, yang lebih “jujur”, atau mungkin di kalangan mereka “gagah” sebagai kejahatan, ala-ala kelakuan Edi Sampak, Mat Peci, Johnny Indo dan sebagainya di masa lalu. Bagaimanapun kejahatan modern sering kali lebih tersembunyi. Korupsi dan kolusi, yang meskipun merugikan negara lebih besar dan berdampak dahsyat, tidak memiliki “kejujuran” dalam kejahatan, sebagaimana yang ada dalam perampokan atau bahkan pembunuhan langsung.
Cermin Masyarakat yang Sakit
Mungkin kejadian itu tak bisa terlepas dari kondisi sosial dan ekonomi Indonesia saat ini. Meningkatnya tingkat kejahatan keras seperti ini bisa dipandang sebagai indikasi ketidakstabilan sosial dan ekonomi yang sedang melanda Indonesia. Di tengah resesi ekonomi global dan ketidakpastian politik dalam negeri, ditambah menguatnya ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga hukum, serta ketidakmampuan pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja dan memastikan keadilan sosial, bisa membuat sebagian individu memilih jalur kriminal sebagai cara untuk bertahan hidup.
Kekecewaan publik itu diperdalam menjadi keputusasaan ketika di sisi lain mereka menyaksikan betapa ada sebagian kecil warga masyarakat selebritas, pejabat dan keluarganya secara aktraktif mempertontonkan kemewahan. Urusan flexing mungkin tak akan berdampak banyak manakala rakyat berada pada kondisi yang lumayan sejahtera, meski ukurannya tentu sangat sederhana. Cukup makan, mencari uang relatif gampang asal menjauhi kemalasan, dan setidaknya setahun sekali anak-anak bisa berganti sandang, misalnya.
Tetapi ketika kemewahan itu dipertontonkan saat rakyat merasa mereka harus berjuang lebih untuk pendapatan yang subsisten, dampaknya akan lain. Itu jelas terlihat seperti dugaan flexing Erina Gudono, istri Kaesang, menantu Pak Jokowi. Alasan itu juga bisa menjadi jawaban mengapa publik netizen tepatnya terkesan tak bosan menguliti gaya hidup sang menantu yang konon dipenuhi sifat pamer ini.
Dalam sejarah Amerika Serikat, kejahatan keras mengalami puncaknya pada dekade 1970-an dan 1980-an. Fenomena itu sering kali dikaitkan dengan krisis ekonomi, pengangguran yang tinggi, dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang gagal. Hal itu menunjukkan bahwa di masa-masa ketidakstabilan, baik di negara berkembang seperti Indonesia maupun negara maju seperti Amerika Serikat, kejahatan keras cenderung meningkat.
Boleh juga kejahatan-kejahatan “nyata” seperti ini dilihat sebagai respons terhadap kesulitan-kesulitan hidup yang dirasakan sebagian besar masyarakat, dan mungkin juga merupakan bentuk protes terhadap sistem yang dianggap tidak adil. Ketika institusi-institusi gagal dalam menjalankan fungsinya, masyarakat mungkin melihat kejahatan sebagai satu-satunya jalan keluar.
Kacamata Teori
Dalam teori Anomie yang ia angkat, Emile Durkheim berpendapat bahwa kejahatan meningkat ketika norma-norma sosial menjadi tidak jelas atau ketika masyarakat mengalami disfungsi. Dari kacamata teori ini, perampokan di Padang bisa saja dianggap sebagai manifestasi dari keadaan anomie, di mana masyarakat merasa terasing dari norma dan nilai yang selama ini mereka anut, akibat ketidakstabilan politik dan ekonomi.
Lihat saja, manakala pencoleng kerah putih dan para penja(h/b)at seperti koruptor dan penggasak uang negara, yang kini rata-rata jumlahnya antara ratusan miliar sampai triliun rupiah, seringkali melenggang keenakan. Bukan tanpa hukuman, tentu, karena hal itu disadari akan menimbulkan gejolak sosial yang parah. Tetapi betapa secara kalkulasi “debet-kredit” atau untung-rugi, masih menyisakan keuntungan berlimpah sekalipun mendapatkan hukuman penjara.
Sudah jadi rahasia umum, bila para pelaku kejahatan besar kerah putih ini bisa memakai apa pun cara yang mungkin. Dari menyuap para hamba wet, memakai pengacara berbayaran mahal yang siap pula menutup mata terhadap cara kecuali tujuan membebaskan atau mengurangi sebesar-besar hukuman kliennya, sampai mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan novum yang sejatinya bisa sangat meragukan.
Sementara teori Strain dari Robert Merton berargumen, ketika individu tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan melalui cara-cara yang sah, mereka mungkin beralih ke metode yang tidak sah, termasuk kejahatan. Dalam konteks ini, ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk memperoleh penghidupan yang layak melalui pekerjaan yang sah dapat memicu tindakan kriminal seperti perampokan.
Bila kita merunutnya pada sisi kebiasaan dan perilaku sehari-hari, teori Broken Windows dari James Q. Wilson dan George L. Kelling bisa jadi juga berlaku. Teori ini menyatakan bahwa ketidakpatuhan terhadap aturan-aturan kecil, jika dibiarkan, akan mengarah pada kejahatan yang lebih besar. Menurunnya kredibilitas polisi Indonesia dan ketidakmampuan mereka dalam menegakkan hukum—yang membuat warga Masyarakat cenderung melakukan beragam pelanggaran ‘sepele’ bisa menjadi “jendela yang pecah”. Pada gilirannya itu mendorong peningkatan kepada kejahatan keras.
Teori itu sejalan pula dengan teori Kontrol Sosial dari Travis Hirschi. Hirschi berpendapat, orang akan cenderung mematuhi aturan jika mereka memiliki ikatan yang kuat dengan masyarakat. Menurunnya kepercayaan terhadap institusi-institusi, seperti kepolisian, dapat mengurangi ikatan sosial ini, yang pada gilirannya meningkatkan potensi terjadinya kejahatan.
Akan Menjadi Tren?
Dengan situasi saat ini di Indonesia, di mana kredibilitas polisi tengah berada di titik nadir, ada potensi bahwa jenis kejahatan seperti perampokan ini menjadi tren yang meningkat. Jika tidak ada upaya yang serius untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, serta perbaikan ekonomi yang signifikan, maka kejahatan keras bisa kembali menjadi lebih umum, mengingat kesulitan ekonomi dan ketidakpastian politik.
Bila fenomena yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada dekade 1970-an dan 1980-an itu berhasil diredam dengan kebijakan seperti “War on Drugs” dan upaya penegakan hukum yang lebih ketat, tampaknya cara serupa di Indonesia tidak akan seefektif itu.
Di Indonesia, pendekatan represif mungkin tidak cukup. Diperlukan upaya yang lebih holistik, termasuk reformasi di tubuh Kepolisian, peningkatan kesempatan ekonomi, dan penguatan kembali norma sosial, agar tren kejahatan keras ini dapat dicegah sebelum menjadi masalah yang lebih besar.
Indonesia tidak bisa hanya fokus pada penegakan hukum yang keras, tetapi juga memperbaiki kondisi sosial yang mendasari peningkatan kejahatan keras ini.
Dalam jangka panjang, langkah-langkah preventif melalui pendidikan, reformasi institusi, dan kebijakan ekonomi yang inklusif adalah kunci untuk mencegah perampokan semacam ini menjadi fenomena yang lebih luas.