Wacana kebijakan perubahan penarifan KRL (kereta rel listrik) Jabodetabek yang tadinya umum, sama rata, menjadi berdasarkan NIK (nomor induk kependudukan) membuat masyarakat resah, terutama penumpang kereta murah, cepat, dan nyaman itu. Berbagai kelompok masyarakat lewat media sosial menyampaikan protes, karena khawatir kebijakan itu akan membuat tarif KRL naik.
Masyarakat berharap kebijakan PT KAI (Kereta Api Indonesia) tidak berubah, malah seharusnya ditingkatkan antara lain agar jumlah keretanya ditambah sehingga penumpang tidak berjubel dan berdesakan lagi. Sementara prinsip kereta api angkutan massal perkotaan adalah bagaimana moda ini mampu memindahkan perjalanan dari kendaraan pribadi menjadi kereta api atau bus.
Karenanya, angkutan massal terutama kereta api, di mana-mana selalu dipadati penumpang, terutama pada jam berangkat dan pulang kerja. Saking padatnya penumpang, di stasiun-stasiun kereta kota pada jam-jam itu selalu ada petugas yang siap mendorong penumpang supaya bisa berjejalan ke dalam kereta.
Seperti umumnya kereta api, operasional KRL sangat mahal dan pendapatan dari penjualan tiket tidak dapat menutup biaya operasionalnya, walau menaikkan tarif bukan solusi. Angkutan massal perkotaan di mana pun disubsidi, agar masyarakat pekerja dan warga dapat memanfaatkannya dengan tarif yang memadai.
Selain itu, angkutan massal kota, baik kereta api, KRL, atau bus kota, mampu mengurangi jumlah kendaraan pribadi yang terpaksa digunakan warga untuk bepergian. Penggunaan kendaraan pribadi membuat jalan macet di mana-mana yang menimbulkan pemborosan dan stres.
Data menyebutkan, Jakarta menderita rugi hingga Rp 100 triliun per tahun dari kemacetan jalannya. Dari jumlah itu, Rp 40 triliun rugi biaya operasi, misalnya borosnya bahan bakar, oli, dan lain-lain, sedangkan Rp 60 triliun dari waktu perjalanan yang lebih panjang akibat macet yang membuat stres dan polusi udara.
Pemerintah Indonesia memberi subsidi KRL berupa PSO (public service obligation – kewajiban layanan masyarakat), sebesar Rp 7,96 triliun untuk tahun 2024. PSO menomboki kekurangan biaya operasi, perawatan, dan sebagainya yang lebih besar dibanding pendapatannya. Namun, PSO sebesar ini bukan hanya untuk KRL, juga untuk kereta-kereta kelas ekonomi jarak jauh dan jarak sedang yang dioperasikan PT KAI.
PT KAI mendapat PSO Rp 4,7 triliun, sedangkan Rp 3,2 triliun sisanya untuk KRL. Sementara jumlah penumpang KRL tahun 2023 mencapai 290,9 juta, penumpang kereta jarak jauh dan sedang “cuma” 82 juta-an.
NIK Bansos
Sebagian masyarakat menilai, dukungan PSO untuk KRL itu dianggap tidak tepat sasaran. Bukannya penumpang kaya Jakarta yang naik KRL melainkan sebagian penumpangnya berdomisili di luar Jabodetabek.
Dicarilah solusi bagaimana agar penumpang KRL nyaman, tidak berdesakan sehingga rela meninggalkan kendaraannya di garasi. Muncul ide mensyaratkan NIK waktu membeli tiket KRL elektronik, yang diyakini mampu menyortir penduduk non-Jabodetabek yang “tidak berhak” naik KRL, kecuali membayar tarif penuh.
NIK mampu memisahkan penduduk berdasarkan domisili (provinsi, kabupaten, kecamatan) dilihat dari dua digit pertama pada NIK, lalu tinggal mendeteksi apakah domisili mereka terlewati jalur kereta atau tidak. Di Jabodetabek, ide tadi membuat hanya penduduk Jakarta yang jelas terlewati jalur KRL, juga Tangerang, Bekasi, Bogor, Depok yang mendapat tarif subsidi PSO. Sementara penduduk Tangerang Selatan, misalnya, atau penduduk Pandeglang, Banten, bahkan juga penduduk Karawang karena NIK-nya beda, bayar tiketnya lebih mahal.
Kebijakan pemisahan ini akan membuat warga Sukabumi dan warga Bogor, misalnya, ketika berbarengan membeli tiket KRL di stasiun Pasar Minggu, mendapat tiket dengan tarif berbeda. Warga Sukabumi kena tarif non-PSO yang lebih mahal.
Menurut juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, kebijakan penggunaan NIK masih dalam pembahasan, belum akan diterapkan karena akan melalui diskusi publik dulu. Juga akan dibahas, apakah NIK-nya akan menggunakan NIK dari Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) atau NIK dari Kementerian Sosial.
NIK buatan Kemensos diberikan khusus bagi mereka yang mendapat jatah bantuan sosial (bansos). Maksudnya agar lurah atau RT tidak akan salah beri 10 kg beras bansos kepada yang berhak, yang benar-benar membutuhkan, bukan kepada kerabat ketua RT yang jelas mampu karena bergaji UMR.