Hingga saat ini, kasus BLBI masih menjadi bayang-bayang gelap dalam sejarah penegakan hukum Indonesia. Negara, melalui berbagai instrumen hukum dan lembaga penegak hukum, tampak kurang serius dalam menindak para pengemplang utang ini. Bahkan, pada tahun 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) untuk kasus Syamsul Nursalim
Indonesia telah melewati seperempat abad sejak krisis moneter 1998 yang memicu lahirnya salah satu skandal keuangan terbesar dalam sejarah negeri ini: kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Skandal ini menyeret nama-nama besar yang menjadi obligor BLBI, termasuk Syamsul Nursalim, yang dengan licik berhasil menghindari tanggung jawab utang triliunan rupiah kepada negara. Sementara itu, hingga hari ini, negara masih disibukkan dengan upaya menuntut pertanggungjawaban para obligor BLBI yang lancung ini, meskipun hasilnya sering kali mengecewakan.
Hingga saat ini, kasus BLBI masih menjadi bayang-bayang gelap dalam sejarah penegakan hukum Indonesia. Negara, melalui berbagai instrumen hukum dan lembaga penegak hukum, tampak kurang serius dalam menindak para pengemplang utang ini. Bahkan, pada tahun 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) untuk kasus Syamsul Nursalim, yang pada dasarnya menghentikan proses hukum atas dugaan korupsi yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Keputusan ini memicu kritik keras dari berbagai pihak, terutama karena memperlihatkan ketidakadilan jika dibandingkan dengan bagaimana negara membuarkan perlakuan kreditur—dari bank hingga Pinjol—kepada para peminjam kecil, seperti pengemudi ojek online atau debitur mikro yang dikejar hingga ke gorong-gorong, untuk melunasi utang kecil mereka.
Ketidakadilan dalam penegakan hukum
Dalam konteks penegakan hukum, situasi ini bisa dianalisis melalui konsep selective enforcement atau penerapan hukum yang selektif. Ironisnya, dalam kasus ini hukum diterapkan lebih keras kepada mereka yang lemah secara ekonomi dibandingkan kepada para elite yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi. Konsep ini sejalan dengan teori-teori tentang ketidakadilan struktural yang diungkapkan oleh banyak pemikir dan ekonom.
Joseph Stiglitz, dalam “Globalization and Its Discontents” (2002), mengkritik keras bagaimana kebijakan ekonomi sering kali menguntungkan elite dan merugikan masyarakat luas. Stiglitz menyoroti bagaimana hubungan dekat antara pemerintah dan bisnis sering kali menciptakan peluang bagi para elit untuk memanipulasi sistem demi keuntungan mereka sendiri, seringkali dengan mengorbankan kepentingan publik. Dalam konteks BLBI, kita melihat bagaimana obligor besar seperti Syamsul Nursalim bisa lolos dari jerat hukum dengan memanfaatkan celah hukum dan koneksi politik mereka.
Benar Syamsul Nursalim tercatat telah melunasi utang BLBI-nya sebesar Rp 517,7 miliar kepada negara, yang dibayarkan dalam dua tahap, pada November 2021 dan Juni 2022. Namun, jumlah itu hanya sebagian dari total kewajiban Syamsul terhadap negara. Meskipun pelunasan ini menandai akhir dari utang langsungnya yang terdaftar di bawah program BLBI, hal itu seharusnya tetap tidak menghapus tanggung jawab moral dan hukum yang lebih besar atas kerugian yang ditimbulkan.
![satgas blbi.jpg](https://i2.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/09/satgas_blbi_b94e7bf7bf.jpg)
Dalam teorinya tentang crony capitalism, Stiglitz dan ekonom lainnya menunjukkan bagaimana korupsi dan ketidakadilan hukum bisa bertahan dalam sistem ekonomi yang tidak sepenuhnya bebas dari intervensi politik. Kasus BLBI adalah contoh nyata dari bagaimana crony capitalism beroperasi, di mana hukum tampak fleksibel bagi mereka yang berada di lingkaran kekuasaan, sementara masyarakat biasa harus menghadapi penegakan hukum yang keras dan tidak kenal kompromi.
Dalam konteks BLBI, kita melihat bagaimana obligor besar seperti Syamsul Nursalim bisa lolos dari jerat hukum dengan memanfaatkan celah hukum dan koneksi politik mereka. Stiglitz menyatakan bahwa: “Policies that the IMF pushed—policies that emphasized debt repayments over everything else—had, it turned out, made things worse, much worse. “Kebijakan yang didorong oleh IMF—kebijakan yang menekankan pembayaran utang di atas segalanya—ternyata membuat keadaan menjadi lebih buruk, jauh lebih buruk.”
Kutipan ini relevan dalam konteks BLBI, di mana kebijakan yang dibuat tampaknya lebih menguntungkan pengemplang daripada menegakkan keadilan bagi rakyat Indonesia.
Dalam teorinya tentang crony capitalism, Stiglitz dan ekonom lainnya menunjukkan bagaimana korupsi dan ketidakadilan hukum bisa bertahan dalam sistem ekonomi yang tidak sepenuhnya bebas dari intervensi politik. Kasus BLBI adalah contoh nyata dari bagaimana crony capitalism beroperasi, di mana hukum tampak fleksibel bagi mereka yang berada di lingkaran kekuasaan, sementara masyarakat biasa harus menghadapi penegakan hukum yang keras dan tidak kenal kompromi.
Selain Stiglitz, teori Regulatory Capture juga relevan di sini, di mana institusi yang seharusnya mengawasi malah terpengaruh oleh pihak yang diawasinya. Buku “This Time is Different: Eight Centuries of Financial Folly” (2009) karya Carmen Reinhart dan Kenneth Rogoff juga menyajikan pandangan tentang bagaimana utang publik yang tinggi dan krisis keuangan sering kali disebabkan oleh kegagalan institusi untuk menegakkan hukum secara adil dan efektif. Mereka berpendapat bahwa: “High debt/GDP levels, whether in advanced or emerging market economies, are associated with notably lower growth outcomes.” Tingkat utang terhadap PDB yang tinggi, baik di negara maju maupun di negara berkembang, terkait dengan hasil pertumbuhan yang secara signifikan lebih rendah.”
Pernyataan ini menegaskan bagaimana kegagalan dalam menegakkan aturan hukum terhadap obligor besar seperti dalam kasus BLBI dapat memperburuk situasi ekonomi secara keseluruhan, yang pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Pengutang kecil justru ditindas
Ironisnya, sementara para obligor besar BLBI seperti, antara lain, Syamsul Nursalim, menikmati berbagai kelonggaran hukum, debitur kecil sering kali menghadapi tindakan hukum yang sangat keras. Penegakan hukum terhadap peminjam mikro sering kali dilakukan dengan cepat dan tanpa ampun, bahkan untuk utang yang relatif kecil.
Hyman Minsky, seorang ekonom yang terkenal dengan konsep Minsky Moment, menjelaskan dalam teorinya bahwa stabilitas yang berkepanjangan dalam pasar keuangan justru dapat menciptakan kondisi yang mengarah pada ketidakstabilan. Minsky menggambarkan bagaimana utang yang digunakan secara berlebihan untuk membiayai investasi spekulatif dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi.
Minsky mengataan,”Stability—even of an expansion—is destabilizing in that more adventuresome financing of investment pays off to both investors and bankers. “Stabilitas—bahkan dalam masa ekspansi—dapat menjadi destabilisasi karena pembiayaan investasi yang lebih berani cenderung menguntungkan baik investor maupun bankir.”
Pernyataan Minsky itu relevan dalam konteks BLBI, di mana para obligor besar menggunakan posisi mereka untuk mempertahankan kekayaan mereka meskipun jelas bahwa tindakan mereka berkontribusi pada ketidakstabilan ekonomi negara.
Penangkapan Marimutu Sinivasan
Namun, tidak semua obligor BLBI berhasil melarikan diri dari jerat hukum. Penangkapan Marimutu Sinivasan, salah satu obligor BLBI, menjadi contoh bagaimana hukum dapat dijalankan dengan tegas, dan konsekuensi hukum bisa memaksa pelaku korupsi untuk melarikan diri. Marimutu Sinivasan ditangkap oleh petugas Imigrasi di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, Kalimantan Barat, ketika mencoba melarikan diri ke Kuching, Malaysia, melalui jalur kecil yang biasanya dilalui dengan bus atau mobil oleh penduduk lokal Kalimantan Barat.
Upaya pelarian melalui perbatasan ini menunjukkan ketakutan para obligor BLBI akan konsekuensi hukum jika mereka tertangkap. Berbeda dengan Syamsul Nursalim yang berhasil melarikan diri dan menghindari proses hukum, Marimutu Sinivasan ditangkap ketika mencoba meloloskan diri, memperlihatkan bahwa tindakan hukum yang tegas dapat menekan para pengemplang untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka. Penangkapan Marimutu ini menegasan bahwa jika para obligor besar ini tidak segera ditangkap dan dijebloskan ke balik jeruji, mereka akan terus mencari cara untuk melarikan diri.
Marimutu Sinivasan dan Syamsul Nursalim adalah dua sisi dari mata uang yang sama: keduanya adalah contoh bagaimana para pengemplang BLBI akan berusaha keras untuk melarikan diri dari konsekuensi hukum. Namun, penangkapan Marimutu menjadi bukti bahwa jika aparat penegak hukum bertindak cepat dan tegas, pelaku korupsi seperti mereka dapat ditangkap dan diproses sesuai hukum. Jika negara gagal menangkap dan memproses mereka dengan benar, bukan tidak mungkin mereka akan melarikan diri seperti yang dilakukan oleh Syamsul Nursalim.
Apa yang harus dilakukan negara?
Dalam posisinya sebagai kekuatan keempat dalam demokrasi, pers Indonesia telah berupaya kuat untuk terus menggaungkan isu ketidakadilan hukum dan sosial dalam kasus BLBI ini. Meski kritik dan analisis tajam dari berbagai media telah mengungkap banyak ketidakberesan dalam penanganan kasus ini, tetap saja tantangan besar masih mengadang dalam bentuk pengaruh politik dan ekonomi yang kuat dari para obligor besar.
Pers telah memainkan peran vital dalam menjaga kesadaran publik akan ketidakadilan yang terjadi dalam kasus BLBI. Melalui pemberitaan dan investigasi yang mendalam, media terus menekan pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap para pengemplang BLBI. Meskipun demikian, kerja keras pers harus diikuti oleh tindakan nyata dari pemerintah agar keadilan benar-benar terwujud.
Untuk mengatasi persoalan ini, ada beberapa langkah yang harus diambil oleh negara untuk memastikan bahwa penegakan hukum berjalan adil dan tidak pandang bulu. Pertama, negara harus memastikan bahwa hukum diterapkan secara konsisten tanpa memandang status sosial atau kekayaan seseorang. Jika debitur kecil bisa disita asetnya dengan cepat setelah menunggak pembayaran, maka prosedur yang sama harus diterapkan pada obligor besar.
Kedua, reformasi lembaga penegak hukum perlu dilakukan untuk memastikan independensinya dari pengaruh politik dan ekonomi. Reformasi ini termasuk memperkuat pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar tidak terlibat dalam praktik korupsi atau menerima suap dari pihak-pihak yang berusaha menghindari proses hukum.
Ketiga, setiap tindakan pemerintah terhadap obligor besar harus dilakukan dengan transparan. Informasi terkait proses hukum, termasuk hasil penyelidikan dan keputusan pengadilan, harus diakses oleh publik. Transparansi ini akan membantu mencegah kecurigaan bahwa obligor besar mendapat perlakuan istimewa.
Keempat, penegakan hukum terhadap obligor besar harus disertai dengan pengawasan yang ketat dan independen. Lembaga-lembaga independen dan LSM harus dilibatkan dalam memonitor proses hukum dan kebijakan yang terkait dengan penagihan utang dari obligor besar untuk mencegah ketidakadilan.
Satu hal harus benar-benar kita semua sadari, kasus BLBI adalah cermin dari masalah mendasar dalam sistem hukum dan ekonomi Indonesia. Ketidakadilan yang mencolok dalam perlakuan terhadap obligor besar dibandingkan dengan debitur kecil memperlihatkan perlunya reformasi mendalam dalam sistem hukum dan kebijakan publik di Indonesia. Negara harus mengadopsi pendekatan yang lebih tegas dan berkeadilan dalam menangani kasus-kasus korupsi besar guna memperbaiki kepercayaan publik dan menegakkan prinsip keadilan yang sejati.
Ketidakadilan dalam manajemen utang dan penegakan hukum tidak hanya merusak sistem ekonomi tetapi juga kepercayaan publik terhadap institusi negara. Dengan mengadopsi reformasi yang mendalam dan melibatkan transparansi serta pengawasan yang ketat, Indonesia dapat mengakhiri ketidakadilan ini dan menegakkan hukum dengan adil, tanpa memandang status sosial atau kekayaan. Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa keadilan benar-benar berlaku untuk semua, dan hanya dengan begitu, Indonesia bisa menjadi negara yang benar-benar adil dan berkeadilan bagi seluruh rakyatnya.