Ada pertanyaan menarik terkait dengan dunia perberasan saat ini. Apakah upaya Pemerintah menggenjot peningkatan produksi dan produktivitas beras akan mampu menggapai kembali swasembada beras? Lalu, apakah jurus yang dipilih Pemerintah seperti menambah luas tanam dan mempercepat masa tanam akan dapat menjawab target yang ditetapkan Pemerintah?
Jawaban atas pertanyaan ini penting kita peroleh, agar kita tidak salah arah dalam merancang strategi pembangunan pangan ke depan, khususnya terkait dengan dunia perberasan. Masalahnya menjadi semakin menarik, manakala hal ini kita rangkaikan dengan program prioritas Prabowo/Gibran, yang salah satunya mencapai swasembada pangan, energi, dan air.
Tidak lama lagi pasangan Presiden/Wakil Presiden Terpilih bakal dilantik. Sesuai jadwal Komisi Pemilihan Umum (KPU), Prabowo/Gibran akan dilantik pada 20 Oktober 2024. Yang hangat dan jadi perbincangan publik adalah siapa saja di antara tokoh bangsa yang akan dipilih Presiden untuk melengkapi susunan Kabinet Pemerintahan yang akan dipimpinnya.
Seorang sahabat sempat nyeletuk, mengapa yang jadi pembicaraan publik, bukannya kebijakan dan program yang akan digarap selama 5 tahun ke depan, tetapi malah membahas siapa orang-orang yang bakal dipilih menjadi Menteri dan Pimpinan Lembaga Tinggi Negara? Inilah hebatnya Indonesia. Soal kebijakan dan program bukan yang utama. Prioritasnya, siapa yang bakal menjalankan kebijakan dan program tersebut.
Sesuai dengan Undang-Undang No.18/2012 tentang Pangan, yang disebut pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Betul! Pangan bukan cuma beras. Jagung, kedelai, daging, gula, palawija, hortikultura, ikan, susu, dan lain-lainnya lagi tergolong ke dalam bahan pangan. Dengan demikian, jika kita berkehendak untuk mencapai swasembada pangan, maka jawabannya bukan hanya meraih swasembada beras, tetapi juga swasembada bahan pangan lainnya.
Sampai detik ini, bangsa kita baru mampu meraih swasembada beras yang sifatnya on trend, bukan swasembada beras berkelanjutan. Kita belum pernah mencapai swasembada kedelai atau swasembada daging sapi. Kita juga kesulitan untuk menggapai swasembada gula. Itu sebabnya, kondisi swasembada pangan sendiri hingga kini masih mengedepan sebagai cita-cita politik.
Catatan kritis yang perlu diutarakan, apakah kemauan politik Prabowo/Gibran untuk meraih swasembada pangan, energi, dan air bisa disebut realistik atau utopis? Ini menarik. Jangankan meraih swasembada pangan, untuk mewujudkan swasembada beras kembali, sepertinya kita akan dihadapkan pada berbagai tantangan.
Sebagai “bahasa politik”, istilah swasembada pangan sah-sah saja dikumandangkan atau malah dijadikan bahan dagangan kampanye Pemilihan Presiden. Pertanyaannya adalah apakah selama 5 tahun ke depan kita akan dapat mewujudkannya? Atau cukup hanya dengan menyusun dan merancang Grand Desain lengkap dengan Roadmap pencapaiannya saja?
Swasembada beras hanyalah salah satu penopang terwujudnya Swasembada Pangan. Untuk meraih Swasembada Beras saja, kita cukup berat untuk mencapainya. Jika ingin swasembada berarti kita harus menggenjot peningkatan produksi dan produktivitas setinggi-tingginya. Untuk itu, kita perlu mencari biang kerok penyebab turunnya produksi beras.
Berdasarkan pengakuan Pemerintah, faktor penyebab anjloknya produksi beras dapat diamati dari terjadinya iklim ekstrem seperti El Nino, pemupukan yang kurang, irigasi yang tidak optimal, bibit/benih yang tidak berkualitas, lemahnya Penyuluhan Pertanian di lapangan, berkurangnya dukungan anggaran Pemerintah, dan lain sebagainya.
Selain itu, alih fungsi lahan yang tak terkendali diduga turut serta menurunkan produksi karena semakin menyusutnya lahan sawah petani. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan selama 10 tahun terakhir jumlah petani gurem mengalami pembengkakan sebesar 2,64 juta rumah tangga. Alih fungsi lahan yang membabi buta ditengarai sebagai penyebab utama melemahnya kedaulatan petani.
Hal lain yang dituding menjadi penyebab anjloknya produksi beras adalah berkurangnya jumlah petani padi di perdesaan. Kaum muda perdesaan lebih memilih meninggalkan kampung halamannya untuk berduyun-duyun datang ke kota-kota besar, ketimbang meneruskan profesi orang tuanya sebagai petani padi. Di benak mereka, menjadi petani padi sudah tidak menarik lagi.
Kalau kita cermati dengan seksama, faktor penyebab turunnya produksi beras ujung-ujungnya akan bermuara pada Tata Kelola dan Sistem Perberasan yang belum berkualitas. Perencanaan yang belum mengedepankan database yang akurat, ditambah dengan penerapannya yang tidak berkesinambungan, membuat produksi tidak sesuai dengan harapan.
Semoga dengan ditemukannya biang kerok turunnya produksi beras, kita akan mampu meningkatkan produksi dan produktivitas beras setinggi-tingginya menuju swasembada. Tentu dengan mengeliminasi berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada. Jika swasembada beras tercapai, persiapan meraih swasembada komoditas pangan lain akan terbuka.