Lagi-lagi pemerintah melontarkan rencana lamanya yang terbilang kontroversial. Pada 13 September 2024, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan akan mulai membatasi pembelian Pertalite dan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi lainnya mulai Oktober 2024. Syahdan, niat itu dilatari oleh banyaknya BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran.
Alasan klise. Soal itu semua juga sudah tahu. Masalahnya, pembatasan BBM bersubsidi itu bukannya tanpa konsekuensi berbahaya. Pembatasan BBM bersubsidi justru dapat memperdalam jurang kesenjangan ekonomi yang sudah ada. Pembatasan justru bisa berakibat pada meningkatnya biaya hidup masyarakat, bukan hanya dalam sektor transportasi, tetapi juga biaya logistik. Pada akhirnya harga barang dan jasa akan kian melesat.
Celakanya lagi, rencana kebijakan itu diumumkan di tengah kondisi ekonomi yang sudah terpuruk. Deflasi yang terjadi beruntun beberapa bulan terakhir disebabkan penurunan daya beli di kalangan masyarakat. Tidak hanya itu, sebanyak 46.240 pekerja telah di-PHK dari Januari hingga Agustus 2024, mencerminkan dampak ekonomi langsung terhadap rakyat. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah justru menambah beban dengan rencana pembatasan BBM bersubsidi.
Padahal, mayoritas masyarakat Indonesia masih sangat bergantung pada BBM bersubsidi. Dari mulai nelayan yang memerlukan bahan bakar untuk melaut, petani yang menggunakan mesin-mesin pertanian, hingga para pekerja yang mengandalkan transportasi umum untuk beraktivitas. Pembatasan bisa menimbulkan efek domino yang pada akhirnya akan menambah beban masyarakat.
Alih-alih meneruskan rencana pembatasan BBM, pemerintah seharusnya memperhatikan data dan statistik yang menunjukkan penurunan drastis dalam pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan makanan. Lebih baik perkuat dukungan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar ini. Perkuat dulu daya beli agar kondisi masyarakat tidak semakin parah.
Badan Pusat Statistik pada Agustus 2024 melaporkan penurunan pengeluaran kelas menengah untuk pendidikan dan makanan dalam 10 tahun terakhir. Porsi pengeluaran untuk pendidikan turun dari 4,32% pada tahun 2014 menjadi 3,66% pada tahun 2024, kesehatan turun dari 3,27% pada tahun 2014 menjadi 2,86% pada tahun 2024, dan untuk makanan dari 45,53% menjadi 41,67%. Sementara itu, pengeluaran untuk pajak dan iuran justru meningkat dari 1,62% menjadi 4,53%.
Penurunan pengeluaran ini menunjukkan penurunan daya beli di kalangan kelas menengah. Meski mereka semakin taat mengikuti aturan pembayaran pajak dan iuran, ternyata hal ini justru menurunkan kemampuan mereka untuk membiayai kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan makanan yang lebih mendasar.
Di sisi lain, pemerintah tampak memanfaatkan situasi peningkatan ketaatan itu dengan rencana kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun 2025, serta membahas iuran Tapera dan iuran pensiun. Ini merupakan serangkaian kebijakan yang semakin membebani rakyat, yang ironisnya dilakukan saat mereka sudah berada dalam kondisi yang sulit.
Iuran Tapera dan pensiun, jelas baik dan bertujuan untuk menyediakan jaminan sosial jangka panjang. Tapi situasi warga saat ini sedang kalut. Tabungan untuk jaminan sosial itu malah bisa menjadi beban tambahan. Banyak warga yang masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan harian mereka. Menambah beban finansial mereka di tengah ketidakpastian ekonomi hanya akan memperburuk kondisi sosial.
Ditambah lagi dengan rencana pembatasan BBM bersubsidi. Kebijakan ini secara langsung akan mengharuskan masyarakat beralih ke BBM yang lebih mahal. Nah, apakah pemerintah telah mempertimbangkan dampak sosial yang mungkin terjadi? Sejarah telah menunjukkan bagaimana kenaikan BBM bisa memicu demonstrasi besar-besaran seperti yang terjadi di Ekuador dan Sierra Leone pada tahun 2022.
Krisis ekonomi yang terjadi di Sri Lanka juga harus menjadi peringatan. Kenaikan BBM pada tahun 2022 di negara itu tidak hanya memicu protes besar-besaran, tetapi juga mengarah pada krisis ekonomi yang parah. Jika kebijakan pembatasan BBM bersubsidi diterapkan di Indonesia saat ini, bukan tidak mungkin hal serupa akan terjadi di Indonesia.
Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk segera mengkaji ulang rencananya. Pemerintah harus mempertimbangkan untuk membatalkan atau setidaknya menunda kebijakan-kebijakan yang akan semakin membebani masyarakat. Ini termasuk rencana kenaikan tarif PPN dan tambahan iuran lainnya seperti Tapera dan pensiun, yang hanya akan menambah beban masyarakat.
Dalam mengatasi masalah ekonomi, pemerintah harus kembali kepada prinsip dasar ekonomi, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai kebijakan yang mendukung peningkatan pendapatan dan mengurangi beban fiskal, bukan dengan mengimplementasikan kebijakan yang akan memperburuk kondisi masyarakat.
Serangkaian kritik dan kekhawatiran itu mestinya menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang berpotensi membebani masyarakat. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendi, pada 11 September 2024 mengungkapkan bahwa pemerintah harus fokus dalam menahan penurunan daya beli masyarakat. Tambahan iuran-iuran itu justru menjadi beban ekstra bagi pekerja.
Dengan demikian, dialog antara pemerintah dengan para pemangku kepentingan, termasuk kelompok masyarakat sipil, harus diintensifkan untuk mencari solusi yang lebih manusiawi dan efektif. Pertimbangan untuk menjaga stabilitas sosial dan politik juga harus menjadi prioritas. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang tidak memihak pada rakyat kecil bisa berujung pada ketidakstabilan yang kian meluas.
Perkuat terus kebijakan bantuan sosial dengan target lebih akurat untuk membantu mereka yang paling terdampak oleh ketidakpastian ekonomi. Pastikan bahwa setiap rupiah yang digunakan benar-benar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat konstitusi.
Rencana pembatasan BBM bersubsidi, kenaikan pajak, dan tambahan iuran adalah langkah kontraproduktif saat ini. Pemerintah harus mendengarkan suara rakyat dan ahli ekonomi, mengkaji ulang kebijakan-kebijakan ini, dan mengambil langkah yang lebih mendukung kesejahteraan rakyat, bukan yang justru memperburuknya. Kebijakan harus dibuat dengan bijak, mempertimbangkan semua dampak jangka panjangnya, baik secara ekonomi maupun sosial.