DPR: Cakada Tunggal Rusak Demokrasi, Imbas Parpol Gagal Jaring Kader Kompeten


Anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus menilai maraknya calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, merupakan imbas dari gagalnya parpol menjaring kader yang kompeten.  Akibatnya, fenomena ini dinilainya telah merusak demokrasi.

“Fenomena kotak kosong mencerminkan kegagalan parpol dalam mempersiapkan kader yang kompeten untuk bersaing di tingkat daerah. Hal ini diperparah dengan munculnya satu koalisi besar yang mengaburkan pilihan dan persaingan yang kompetitif,” kata Guspardi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, dikutip Rabu (18/9/2024).

Ia menyebut kotak kosong pada Pilkada 2024, dapat melemahkan legitimasi pemimpin terpilih, dan hubungan antara pemimpin dan rakyat.

“Meskipun Pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong dapat dilanjutkan sesuai peraturan, penting untuk memastikan prosesnya transparan dan adil, untuk menjaga kepercayaan publik dan kualitas demokrasi,” tegasnya.

Terlebih, lanjut Guspardi, bagi calon kepala daerah (cakada) yang melawan kotak kosong, tidak ada proses mencerdaskan para pemilih di sana.

Ia menilai jika kotak kosong menang di daerah yang hanya memiliki calon tunggal, maka pilkada ulang menjadi salah satu alternatif yang harus dilakukan pada 2025.

Selain itu, Guspardi mendorong dilakukannya perbaikan regulasi melalui Revisi UU Pilkada, untuk menghindari terjadinya fenomena calon tunggal kepala daerah melawan kotak kosong.

“Ke depan harus dilakukan perbaikan regulasi yaitu UU Pilkada. Jika regulasi soal pilkada itu diubah, dapat menutup kesempatan calon tunggal,” ucap dia.

“Harus dihindari adanya calon tunggal. Kalau ada regulasinya kan partai tidak berdaya, paslon pun tidak bisa berbuat apa-apa,” lanjutnya.

Guspardi juga menyatakan, seharusnya dengan munculnya putusan MK Nomor 60 Tahun 2024, dapat meminimalisir hadirnya calon tunggal ini.

“Kalau ada calon tunggal, itu berarti para partai yang ada 18 ini gagal memberikan pendidikan politik kepada para kader dan pengurusnya. Jadi itu mengkerdilkan partai itu sendiri, kenapa tidak memajukan kadernya,” tutur Guspardi.

Oleh karena itu, bila pemilih nantinya memilih kotak kosong, Guspardi menyatakan hal ini menjadi bagian dari hak pemilih.

“Memilih kotak kosong tetap merupakan hak para pemilih yang merasa tak cocok dengan paslon yang disodorkan,” tandasnya.