Tertinggal dari Malaysia, Ekonom Senior: Biang Keroknya Deindustrialisasi 10 Tahun Jokowi


Ekonom senior, Prof Didin S Damanhuri menyebut, biang kerok pertumbuhan ekonomi era Jokowi gagal meroket di atas 5 persen, karena masifnya kemunduran industri, alias deindustrialisasi. Warisan tak enak untuk pemerintahan Prabowo Subianto. 

“Industri manufaktur mengalami kemunduran luar biasa. Era reformasi, perekonomian hanya 5 persen, tapi pertumbuhan industrinya hanya 4 persen,” kata Prof Didin, Jakarta, dikutip Senin (23/9/2024)

Karena industri manufaktur tumbuh kontet, kata prof Didin, tak tercipta lapangan kerja yang signifikan. Alhasil, dunia kerja di Indonesia dikuasai sektor informal. 

“Zaman Jokowi ada Nawacita, tetapi tidak nampak adanya industrialisasi policy. Mana itu pembangunan dari pinggiran dan lain sebagainya? Tak ada perencanaan dalam pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya,” ungkap Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University itu.

Selama 10 tahun Jokowi berkuasa, kata Prof Didin, telah terjadi deindustrialisasi yang sangat radikal. Akhir pemerintahan Jokowi, industri hanya tumbuh kurang dari 18 persen. Hilirisasi yang digembar-gemborkan mendorong industri manufaktur, nyatanya tak terjadi.

“Pada praktiknya (hilirisasi) hanya dilaksanakan untuk nikel. Tetapi mengandung kontroversi yang luar biasa. Di mana, perusahaan China mendominasi, dan pekerja kasarnya juga warga negara China,” terang Prof Didin.

Selanjutnya, dia mengingatkan kembali paparan ekonom senior, Faisal Basri yang berpulang pada 5 September 2024. Bahwa, hilirisasi nikel di Indonesia hanya menguntungkan industrialisasi mobil listrik di China.

“Jadi ini merupakan situasi yang harus dihadapi Presiden Prabowo. Sangat berat. Selama era Jokowi tidak ada industrialisasi policy. Lebih banyak kontroversi dan drama politik,” tutur Prof Didin.

Ke depan, kata dia, sangat penting bagi pemerintahan Prabowo Suvianto untuk mendorong reindustrialisasi dengan menetapkan berbagai industrial policy. Prasyaratnya dengan menjaga stabilitas ekonomi makro, memperbaiki iklim investasi baik di sektor keuangan maupun sektor rill.

“Selain itu, pemerintahan Prabowo perlu mempercepat dan memperluas pembangunan infrastruktur yang relevan, menguatkan skema kerja sama pembiayaan investasi dengan swasta, baik asing maupun nasional,” terangnya.

Saat ini, menurut Prof Didin, perekonomian Indonesia kalah jauh ketimbang Malaysia apalagi Singapura. Bukan karena kurangnya sumber daya alam dan pengalaman.

“Tetapi Indonesia terjebak pada perusakan ekologi dan marginalisasi ekonomi rakyat. Justru dengan demokrasi dan demokratisasi politik, rakyat seharusnya dapat membangun industrialisasi modern. Tidak seperti sekarang ini,” pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita membantah telah terjadi deindustrialisasi. Dia menyebut, sektor manufaktur tetap tangguh meski memang ada masalah.

“Meski dalam lima tahun terakhir, manufaktur nasional banyak diterpa masalah, banyak menghadapi tantangan luar biasa. Kadang-kadang berat, tapi sangat berat. Mulai dari pandemi, masalah geopolitik, dan lain sebagainya,” kata Agus di Jakarta, Kamis (19/9/2024).

Berkat kerja sama antara pemerintah dengan pengusaha, asosiasi, kata Agus, Indonesia berhasil membuktikan bahwa manufaktur nasional masih tangguh, bahkan sangat resilian.

Kemudian, Agus mengutip data World Bank pada 2023 yang menempatkan Indonesia di posisi 12 Top Manufacturing Countries by Value Added di dunia. Nilai Manufacturing Value Added (MVA), atau nilai tambah dari industri manufaktur di Indonesia mencapai US$255 miliar. Atau setara Rp4.080 triliun (kurs Rp16.000/US$).