Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai, 10 tahun pemerintahan Jokowi gagal dalam merealisasikan janji reforma agraria. Kuat sekali manipulasi yang justru memperlebar ketimpangan agraria, khususnya di kalangan petani.
“UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) tidak pernah dijadikan rujukan dari kebijakan dan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Demikian pula UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan,” kata Ketua Umum SPI, Henry Saragih di Jakarta, Senin (23/9/2024).
Sebaliknya, kata Henry, pemerintah justru mengeluarkan undang-undang yang menginjak-injak janji reforma agraria yang pernah diucapkan Jokowi saat kampanye pada 2014. “Jokowi justru menerbitkan UU Cipta kerja (Omnibus Law) yang isinya bukan saja semakin mengekloitasi pekerja tapi juga petani dan rakyat,” tutur Henry.
Menurut Henry, reforma agraria dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi, justru diarahkan untuk melegalkan penguasaan lahan yang sudah timpang, melalui proyek sertifikasi tanah. Menjadi jalan bagi korporasi besar untuk menguasai lahan atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN), serta atas nama perubahan iklim.
“Jutaan hektare tanah rakyat dijadikan hutan konservasi dan restorasi sebagai komoditas perdagangan karbon tanpa ganti rugi,” ungkapnya.
Henry juga menyampaikan, konflik agraria semakin meningkat, karena perampasan tanah rakyat semakin meluas. Konflik agraria yang selama ini ada, tidak pernah terselesaikan. Bahkan semakin luas dan komprehensif.
Berdasarkan data Kemenko Perekonomian dan Kantor Staf Kepresidenan, terdapat 1.385 kasus pengaduan masyarakat terkait konflik agraria selama tujuh tahun terakhir (2016-2023).
Dari angka tersebut, 70 lokasi telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Sampai Februari 2024, capaian redistribusi tanah dan penyelesaian konflik pada LPRA hanya 24 LPRA atau 14.968 bidang dengan luasan 5.133 hektare untuk 11.017 kepala keluarga (KK). “Jadi masih ada 46 LPRA yang belum selesai dan 1.361 lokasi aduan konflik agraria yang mangkrak,” terangnya.
Henry mengatakan, jumlah petani gurem dan rakyat yang tak memiliki lahan, meningkat dalam 10 tahun terakhir. “Petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare mengalami lonjakan dalam satu dekade terakhir. Dari 14,24 juta pada 2013, menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023,” ungkapnya.
Sekretaris Jenderal Partai Buruh, Ferri Nuzarli menegaskan, reforma agraria harus diarahkan kepada upaya merombak struktur penguasaan agraria yang timpang.
“Pemerintah harus memastikan land reform yakni membagikan tanah untuk rakyat yang tak bertanah, petani gurem untuk usaha-usaha pertanian, pembudidaya dan petambak perikanan untuk kedaulatan pangan, maupun untuk perumahan dan pemukiman serta fasilitas sosial bagi rakyat,” ungkap Ferri.
Ferry menambahkan, pemerintah harus menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani. Pemerintah justru harus melindungi hak asasi petani, berdasarkan UU Perlindungan Petani No 19 tahun 2013 dan berdasarkan Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan orang-orang yang bekerja di pedesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas).