Pantas Ekonomi Gagal Meroket, Bank ‘Malas’ Guyur Kredit ke Pengusaha


Benarkah kredit perbankan untuk pelaku bisnis sudah lari kencang? Jangan-jangan bank pilih main aman dengan memborong surat utang negara (SUN). Nihil risiko, cuannya gede pula.

Ekonom senior UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja mengatakan, saat ini, pendalaman pasar keuangan dari segi kredit, tergolong rendah. Tercermin dari rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) yang terpaut jauh dengan sejumlah negara tetangga.

Pun demikian, bank pelit mengguyur kredit kepada sektor bisnis yang berkontribusi besar terhadap PDB. “Justru sektor-sektor yang kontribusi terhadap PDB, saat ini, masih belum cukup tinggi persentasi loannya (kredit),” kata Enrico di Jakarta, Rabu (25/9/2024).

Dia memberikan contoh sektor agrikultur dan manufaktur. Ke depan, pemerintah perlu menyusun langkah strategis agar kredit di kedua sektor tersebut, bisa menjadi prioritas perbankan.

Adapun sebagai informasi, Industri perbankan kembali mencatatkan pertumbuhan penyaluran kredit dobel digit, yakni 10,9 persen secara tahunan (year on year/yoy), menjadi Rp7.441,9 triliun per Agustus 2024.

Bila dirincikan, kredit korporasi berkontribusi tertinggi, yakni 53,27 persen. Sisanya diserap debitur perorangan. Berdasarkan jenis penggunaan, kredit konsumsi menyumbang 28,61 persen, atau setara Rp2.129,4 triliun.

Dengan demikian, kredit produktif atau modal kerja dan investasi menyerap lebih dari 70 persen dari total kredit yang telah disalurkan perbankan per Agustus 2024.

Sementara itu, sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan hanya menyumbang 7,34 persen, atau setara Rp546,1 triliun. Sedangkan industri pengolahan yang berkontribusi 14,99 persen, atau setara Rp 1.115,8 triliun.

Sebelumnya, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki mengeluhkan pelitnya perbankan mengguyur kredit untuk pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Di Indonesia, kata dia, bank yang salurkan kredit untuk UMKM masih terendah di Asia. Karena porsinya hanya 21 persen. “Jauh ketimbang China atau Jepang yang sudah 60 persen,” kata Teten.

Teten menyoroti bahwa penyebab rendahnya penyaluran kredit itu, karena sulitnya akses kredit dari perbankan ke pelaku UMKM. Di mana salah satu kendalanya, ada syarat agunan atau jaminan bagi UMKM yang ingin mengajukan kredit.

“Kendalanya memang gak punya agunan pembiayaan kredit kolateral, meskipun pemerintah sudah membuat regulasi sampai Rp100 juta, enggak boleh pakai agunan, tetapi dalam pelaksanaan di lapangan, seperti itu (pakai agunan),” pungkasnya.