Kemiskinan adalah hasil dari kebijakan yang disengaja dan sistem yang mengamankan keuntungan bagi kelas atas, baik melalui pemotongan pajak untuk orang kaya, deregulasi, maupun kebijakan perumahan yang tidak memadai. Banyak kebijakan redistributif yang seharusnya mengurangi kesenjangan pendapatan tidak berjalan efektif, justru menciptakan lingkaran setan di mana orang miskin terus tertindas.
Mencermati laporan tahunan CELIOS, lembaga riset yang bergerak di bidang makro ekonomi, keuangan, ekonomi hijau dan kebijakan publik, “Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin”, jujur saja akan membuat warga negara yang berhati merasa trenyuh, kecewa dan miris.
Beberapa realitas mutakhir yang diungkap CELIOS, seperti 50 orang terkaya Indonesia punya asset setara dengan 50 juta penduduk Indonesia; tiga triliuner teratas mengalami kenaikan jumlah harta hingga 174 persen selama 2020–2023, sementara kenaikan upah pekerja hanya 15 persen; jika kelima orang terkaya di Indonesia membelanjakan Rp2 miliar per hari, mereka butuh 630 tahun untuk menghabiskan kekayaan; bila diupayakan sungguh-sungguh, potensi pajak kekayaan publik bisa membuat 6.925 guru honorer bergaji Rp 6,9 juta per bulan alih-alih hanya Rp 300 ribu; potensi pajak kekayaan 50 orang terkaya—bila dipajaki dengan benar—bisa membangun 339.835 rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah; serta ternyata anak-anak muda Indonesia tidak pada tempatnya bermimpi menyaingi kekayaan Gibran Rakabuming saat ini. Meski mereka punya gaji konstan Rp 15 juta per bulan dan gaji itu seutuhnya hanya ditabung, mereka baru bisa mencapai kekayaan Gibran yang konon penjual martabak itu setelah 142 tahun!
Yang barangkali paling menyakitkan publik, laporan CELIOS menyatakan bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan garis kemiskinan yang tidak lagi relevan, sehingga menutupi kenyataan bahwa banyak warga Indonesia hidup di bawah standar minimum kesejahteraan. Mengapa menyakitkan? Alih-alih mencari solusi tepat dengan mengetahui secara persis dan benar data nyatanya lebih dulu, (lembaga) pemerintah kita justru memilih untuk membedakinya, agar bopeng dan cacat wajah itu tak kentara!
Namun biarlah dulu soal itu. Kemiskinan warga kita, ketimpangan yang kian membuat kita semua khawatir meledak menjadi problem sosial yang nyata, bahkan upaya pupur-memupur, bedak membedak untuk memberi citra cantik dan tampan pada realitas sosial kita, hanyalah lagu lama. Karena nawaitu tulisan ini adalah ajakan berdiskusi, kita ambil fokus yang lain.
Di akhir laporan itu CELIOS menyarankan redistribusi kekayaan melalui pajak kekayaan sebagai solusi untuk memperbaiki kesenjangan ini. Namun, selain bahwa kita pun mafhum bahwa aturan pajak tak selamanya diterapkan secara adil dan proporsional—kita semua punya banyak memori selain ingatan akan figur petugas pajak bernama Gayus Tambunan—sejatinya ada banyak kritik tentang redistribusi kekayaan lewat cara itu.
Redistribusi Kekayaan Melalui pajak: Solusi atau Ilusi?
CELIOS mengusulkan redistribusi kekayaan melalui pajak kekayaan sebagai cara untuk mengurangi ketimpangan ini. Pajak kekayaan, sebagaimana ditulis CELIOS, jika diterapkan pada 50 orang terkaya di Indonesia, dapat digunakan untuk membangun ratusan ribu rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, memberikan subsidi pendidikan, dan memperbaiki akses layanan kesehatan.
Ide ini bukanlah gagasan baru dan telah diusulkan para ekonom progresif di seluruh dunia. Ekonom seperti Thomas Piketty dalam “Capital in the Twenty-First Century”, mengajukan pajak kekayaan global sebagai cara untuk mengatasi ketimpangan yang kian memburuk di negara-negara maju dan berkembang. Piketty berpendapat, akumulasi kekayaan oleh segelintir orang kaya menciptakan siklus kekayaan yang tidak terdistribusi dengan baik, yang hanya memperburuk ketimpangan.
Joseph Stiglitz, ekonom peraih Nobel Ekonomi, dalam “The Price of Inequality”, juga mendukung pajak kekayaan sebagai cara untuk memecah kekuatan oligarki ekonomi. Stiglitz menegaskan, ketidakadilan ekonomi hanya dapat diatasi dengan kebijakan yang secara langsung menargetkan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang, dan redistribusi adalah salah satu cara efektif untuk melakukannya.
Pandangan Stiglitz itu sejalan pemikiran para ekonom yang lebih kemudian. Paul Krugman berargumen bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam mengurangi ketimpangan ekonomi melalui kebijakan fiskal dan redistributif. Dalam “The Conscience of a Liberal” (2007), Krugman menekankan bahwa pajak progresif, peningkatan upah minimum, dan akses universal terhadap jaminan kesehatan adalah kebijakan-kebijakan kunci untuk memperbaiki ketimpangan sosial dan menciptakan masyarakat yang lebih adil.
Namun, tidak semua pihak setuju dengan solusi pajak kekayaan. Salah satu kritik paling menonjol datang dari ekonom konservatif dan libertarian yang berpendapat bahwa pajak kekayaan justru dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Milton Friedman, dalam “Capitalism and Freedom”, mengusulkan bahwa intervensi pemerintah yang berlebihan, termasuk melalui pajak progresif seperti pajak kekayaan, dapat mengurangi insentif bagi individu untuk berinvestasi dan mengambil risiko yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi. Pajak yang terlalu tinggi, menurutnya, menciptakan distorsi dalam pasar bebas dan menghambat inovasi.
Ekonom cum filsuf politik AS, Robert Nozick, dalam “Anarchy, State, and Utopia” juga menentang redistribusi kekayaan yang agresif. Nozick berargumen bahwa kebebasan individu adalah hak fundamental yang seharusnya dilindungi, bahkan jika itu berarti mempertahankan ketidaksetaraan ekonomi.
Pun Charles Murray, seorang ilmuwan politik dan sosiolog yang dikenal karena karya-karya kontroversialnya dalam bidang kebijakan publik dan analisis sosial. Pada “Coming Apart: The State of White America, 1960-2010”, yang terbit 2012, ia menyampaikan kritik serupa terhadap redistribusi kekayaan.
Menurut Murray, redistribusi cenderung memelihara ketergantungan pada bantuan pemerintah tanpa benar-benar menyelesaikan masalah inti, yaitu ketidakseimbangan dalam akses terhadap pendidikan dan peluang ekonomi. Ia berpendapat, solusi yang lebih efektif adalah memperbaiki akses pendidikan dan memperluas kesempatan untuk peningkatan keterampilan, sehingga masyarakat miskin dapat memiliki modal manusia yang kuat untuk meningkatkan taraf hidup mereka sendiri.
Selain itu, kritik lain dari para pendukung kapitalisme pasar bebas, pajak kekayaan dapat mendorong pelarian modal, di mana orang-orang kaya memindahkan aset mereka ke luar negeri untuk menghindari pajak. Fenomena itu telah terlihat di negara-negara seperti Prancis, ketika pemerintah menerapkan pajak kekayaan yang menyebabkan banyak individu kaya memilih untuk memindahkan kekayaannya ke negara-negara dengan kebijakan pajak yang “lebih ramah”.
Perspektif Baru
Belakangan–setidaknya dalam “Poor, By America” dari Matthew Desmond–, terungkap mengapa kemiskinan tetap bertahan di Amerika Serikat, meskipun negara itu kaya dan memiliki banyak sumber daya. Desmond menunjukkan, kemiskinan di Amerika tidak terjadi secara kebetulan atau karena kekurangan individu. Sebagian besar karena struktur ekonomi yang secara sistematis menguntungkan orang kaya sambil memelihara kemiskinan. Dia mengeksplorasi bagaimana kebijakan dan institusi tertentu tidak hanya gagal mengurangi kemiskinan tetapi justru memperdalamnya.
Sebagaimana Stiglitz, Desmond percaya bahwa ketidakadilan ekonomi (di Amerika) diperkuat oleh distribusi kekayaan yang tidak merata, dan sistem yang ada lebih menguntungkan orang kaya daripada orang miskin. Desmond berargumen, kemiskinan adalah hasil dari kebijakan yang disengaja dan sistem yang mengamankan keuntungan bagi kelas atas, baik melalui pemotongan pajak untuk orang kaya, deregulasi, maupun kebijakan perumahan yang tidak memadai. Banyak kebijakan redistributif yang seharusnya mengurangi kesenjangan pendapatan tidak berjalan efektif, justru menciptakan lingkaran setan di mana orang miskin terus tertindas.
Bagi Desmond, negara yang membuat para “kelas atas” menikmati berbagai insentif dan pengurangan pajak, sementara orang-orang berpenghasilan rendah tidak mendapatkan bantuan yang sebanding, adalah negara yang dipimpin pemerintahan yang busuk. Cara itu bertentangan dengan gagasan redistribusi pendapatan, yang seharusnya mengalihkan lebih banyak sumber daya dari kelompok kaya ke kelompok yang lebih miskin. Desmond mendukung perbaikan sistem pajak agar lebih progresif dan berfokus pada bantuan bagi kelompok yang kurang mampu.
Dalam pandangan Desmond, redistribusi pendapatan yang efektif tidak hanya soal memberikan uang kepada orang miskin, tetapi juga menciptakan sistem yang memungkinkan mereka untuk keluar dari siklus kemiskinan, dengan memberikan akses ke peluang ekonomi yang lebih adil.
Alhasil dari beragam pendapat para begawan ekonomi dan sosial di atas, kita bisa melihat bahwa redistribusi pendapatan yang efektif tidak hanya soal memberi lebih banyak uang kepada yang miskin, tetapi juga mengubah kebijakan yang secara sistemik menguntungkan yang kaya, dan justru memelihara kemiskinan. Seperti Desmond mengajak warga AS melihat system mereka, kita juga harus melihat bagaimana sistem ekonomi kita alih-alih mengurangi kemiskinan, justru merawat dan mendukungnya. Redistribusi pendapatan, dalam bentuk reformasi pajak, memang penting, namun di samping itu mutlak pula perlunya kebijakan sosial yang adil, serta akses yang merata kepada layanan-layanan esensial.
Untuk mengatasi ketimpangan ekonomi tanpa menciptakan distorsi yang besar dalam pasar, kompromi antara dua pendekatan barangkali merupakan solusi terbaik. Pajak kekayaan dapat diterapkan, namun dengan proporsi yang lebih moderat untuk menghindari pelarian modal dan mengurangi dampak negatif pada insentif investasi. Pendapatan dari pajak kekayaan itu sebaiknya dialokasikan secara efektif untuk memperbaiki akses pendidikan, meningkatkan pelatihan keterampilan, dan menciptakan lapangan kerja baru yang produktif bagi masyarakat miskin. Dengan demikian, redistribusi kekayaan tidak hanya memberikan bantuan pasif, tetapi juga memperkuat kapasitas masyarakat untuk keluar dari kemiskinan secara mandiri.
Kita setuju usul CELIOS. Namun, agar kebijakan itu efektif dan berkelanjutan, perlu ada kompromi antara berbagai pendekatan yang menggabungkan redistribusi kekayaan dengan investasi dalam pendidikan, pelatihan, dan kesempatan ekonomi. Ketimpangan ekonomi tidak akan terpecahkan hanya dengan satu Solusi. Dibutuhkan strategi yang komprehensif dan berkelanjutan, yang memperkuat kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi dalam ekonomi secara produktif. [ ]