KPPU Ingatkan Praktik RPM Jangan Lahirkan Persaingan Usaha tak Sehat


Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegaskan, praktik resale price maintenance atau RPM bisa menjadi ilegal jika menciptakan persaingan usaha tak sehat.

Menurut Kepala Biro Humas dan Kerja sama KPPU, Deswin Nur, praktik RPM di Indonesia diatur dalam Pasal 8 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha tak Sehat.

“Dalam pasal 8 hanya mengatur larangan bagi pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan persyaratan,” kata Deswin, Jakarta, Jumat (27/9/2024).

Dalam hal ini, penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah dari harga yang telah diperjanjikan. Sehingga bisa mengakibatkan terjadi persaingan usaha tidak sehat.

“Artinya, RPM bukan menjadi praktik yang secara otomatis bertentangan dengan hukum,” ungkapnya.

Namun, lanjut Deswin, akan menjadi ilegal apabila terbukti membuat persaingan usaha yang tidak sehat. Jadi dalam prakteknya, RPM diterapkan dengan melihat alasan di baliknya atau rule of reason.

Deswin menegaskan, dalam penegakan hukum, RPM harus dianalisis berdasarkan efeknya terhadap persaingan.

“Pengaturan RPM merupakan bentuk dari rule of reason, sehingga dibutuhkan bukti konkret bahwa RPM tersebut mengakibatkan dampak negatif terhadap persaingan usaha,” katanya dalam keterangan tertulis.

Meski demikian, pelaksanaan dan penegakan RPM di Indonesia masih terbatas meskipun ada konstitusi yang jelas terkait hal tersebut.

Deswin mengungkapkan, kasus distribusi Semen Gresik pada 2005 merupakan salah satu contoh kasus yang ditangani KPPU terkait pelanggaran RPM. “Jenis pelanggaran ini cukup jarang ditemukan atau ditangani oleh KPPU,” ujar dia.

Deswin menambahkan, dalam hal efektivitas, penerapan larangan RPM diharapkan dapat mengurangi praktik persaingan usaha yang tidak sehat. Dengan ada larangan tersebut, harapannya, konsumen bisa menikmati barang dan jasa dengan harga yang lebih kompetitif.

Sebelumnya, pakar hukum persaingan usaha, Prof Ningrum Natasya Sirait mengatakan, penetapan RPM terhadap sebuah produk merupakan praktek yang biasa saja. Menurutnya, pasti ada alasan dari produsen membuat penetapan harga seperti itu.

“Semuanya produk kalau harganya ditetapkan kembali atau RPM itu sebetulnya praktek yang biasa saja. Pasti kan ada alasannya produsen melakukan hal itu. Ada the rule of reason, tidak absolut,” ungkap Ningrum.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) ini melanjutkan, Pasal 8 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli menyebutkan, tidak boleh menetapkan harga jual kembali.

Namun secara ekonomi bisnis, penetapan RTM itu bukan sepenuhnya tindakan anti persaingan usaha.

“Jadi, kalau undang-undangnya jelas melarang. Tapi, kalau secara ekonomi bisa membuktikan sebaliknya, apalagi pendekatan kita ada di rule of reason dan itu bisa dibuktikan, RPM itu sah-sah saja untuk dilakukan,” katanya.