PT Pertamina International Shipping (PIS), anak usaha PT Pertamina (Persero) sektor perkapalan, ancang-ancang menambah armada. Duitnya dari dana utangan. Waduh.
Kata analias Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, PIS yang merupakan sub holding Pertamina terlihat sangat agresif melakukan pembelian kapal tanker.
“Sayangnya modalnya dari duit utang yang cukup besar. Untuk apa ini? Yang pasti bukan untuk mendukung ekspor minyak Indonesia, karena produksi minyak nasional hanya 40 persen dari total kebutuhan nasional,” papar Salamuddin, Jakarta, Sabtu (28/9/2024).
Kemungkinan besar, kata dia, pembelian kapal tanker bertujuan untuk mendukung impor minyak. Saat ini, produksi minyak nasional berada di titik nadir, setelah merosot secara berkepanjangan. Dari 900 ribu barel terjun bebas menjadi 600 ribu barel per hari.
Tak mampu mencukupi konsumsi nasional yang mencapai 1,4 juta barel dalam sehari. Artinya, harus dilakukan impor sekitar 800 ribu barel per hari untuk menutup kebutuhan itu. Cocok dengan kapasitas kilang yang dimiliki PERTAMINA saat ini, sebesar 1,4 juta barel sehari.
Salamuddin mencatat, PT PIS meraup utang US$185 juta untuk investasi kapal dan infrastruktur terminal LPG. Pendanaan itu berasal dari perbankan nasional dan internasional, antara lain SMBC, BNI, Bank Mandiri, BTPN, Mizuho, dan MUFG.
Pendanaan ini menambah utang PIS pada 2021 yang mencapai US$134 juta untuk membeli 2 VLCC yang merupakan investasi kapal tanker terbesar dalam 10 tahun terakhir di PIS.
Utang besar besaran PIS ke perbankan ditunjukkan dari jumlah utang sindikasi yang signifikan sebesar $750 juta dalam dua tahun terakhir, atau setara Rp12 triliun.
Konon ini untuk menabah armada PIS, yang saat ini mengoperasikan 869 kapal. Termasuk 95 kapal tanker milik PIS, 315 kapal tanker sewaan, dan 459 kapal pendukung.
Secara keseluruhan, total dana utang untuk pengadaan kapal mencapai US$1,6 miliar atau sekitar Rp25 triliun. “Untuk pengadaan kapal tanker tampaknya local content semacam TKDN tidak memungkinkan lagi. Karena 100 persen impor,” kata Salamuddin.
Lomba menumpuk utang di antara sub holding Pertamina, sepertinya tidak terhindarkan lagi. Sub holding yang tadinya adalah anak perusahaan Pertamina, kini menjadi perusahaan yang bergerak sendiri, mengejar keuntungan sendiri.
Lalu seberapa besar PIS akan berhutang, tergantung lobi lobi ke lembaga pemeringakat. Sekarang peringkat utang perusahaan berada di level BAA3, menurut Moodys ratings.