‘Perang’ di Tatar Pasundan, Berebut Ceruk Suara Religius


Berkaca dari tiga kali Pilgub Jawa Barat (Jabar) sebelumnya, kombinasi tokoh nasionalis dan religius atau sebaliknya selalu memenangkan kontestasi, apakah masih berlaku di 2024?

Empat pasangan calon akan bertarung merebut singgasana di Tatar Pasundan. Merujuk hasil survei baru-baru ini, kedigdayaan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan (Dermawan) belum mampu digoyahkan, elektabilitasnya 65,9 persen, sebagaimana paparan Poltracking Indonesia, Kamis (26/9/2024). Sementara pasangan Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie 11,8 persen, pasangan Acep Adang Ruhiat-Gitalis Dwi Natarina 5,2 persen dan pasangan Jeje Wiradinata-Ronal Surapradja 2,9 persen.

Keunggulan di atas kertas ini, bukan tolok ukur mutlak. Sebab, ceruk pemilih di Jabar merupakan masyarakat muslim tradisional. Selain itu, beberapa wilayah di Jabar juga banyak dikuasai oleh basis pesantren, karena mayoritas pendukungnya yakni 97,22 persen memeluk agama Islam. 

Menoleh ke Pilgub Jabar 2008, Ahmad Heryawan atau Aher menggandeng sosok nasionalis Dede Yusuf, kemudian tahun 2013 Aher kembali maju di Pilgub Jabar bersama sosok nasionalis Dedi Mizwar. Formula tradisional itu dilakukan juga di tahun 2018. Kala itu, pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul berhasil memenangkan pertarungan politik.

Rentetan sejarah ini tentu akan menguntungkan bagi Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie (ASIH). Selain didukung oleh ‘mesin’ politik berbasis Islam, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aher yang pernah dua kali memenangkan kontestasi pun ikut turun gunung menjadi ‘komandan tempur’ tim pemenangan duet ini. Tanpa mendahului keputusan Tuhan ataupun tak menghormati pasangan lainnya, tapi Pilgub Jabar 2024 berpotensi jadi arena pertarungan ASIH dengan Dermawan. 

post-cover
Pelaksana Harian (Plh) Presiden PKS Ahmad Heryawan atau Aher di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Minggu (22/9/2024). (Foto: Inilah.com/ Diana Rizky)

Pasangan Dermawan harus waspada, utamanya Dedi Mulyadi. Ia kerap diterpa isu politik identitas atau keagamaan, isu musiman yang bisa mengancam. Sekadar mengingat kembali, bahwa Dedi dikenal sebagai politikus yang kerap berani beda. Tapi, tak semua menganggap ‘beda’-nya Dedi adalah hal positif. 

Semasa menjabat sebagai Bupati Purwakarta, Dedi kerap dituding klenik dan menganut ajaran Sunda Wiwitan. Stigma tersebut muncul karena pria yang kerap mengenakan ikat kepala putih itu, banyak membangun patung beraneka rupa di Purwakarta. Dedi sadar betul, isu usang ini akan kembali dijadikan ‘peluru’ politik.

Padahal kalau melihat rekam jejaknya, Dedi pernah menduduki jabatan ketua HMI Cabang Purwakarta (1994), Ketua PC Pemuda Muslimin Indonesia (2002) dan Sekretaris KAHMI Purwakarta (2002). “Kalau jujur-jujuran saya selalu jadi korban dari isu agama dan isu SARA. Semoga di tahun ini semua pihak menyadari bahwa isu itu memecah belah dan tidak lagi digunakan untuk melakukan serangan terhadap orang lain,” ujar Dedi Mulyadi saat menghadiri deklarasi kampanye damai yang digelar KPU Jabar, Selasa (24/9/2024).

ASIH Kuda Hitam

Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Muradi memandang, ketimbang memusingkan soal perebutan ceruk religius, Dedi sebaiknya fokus menjaga ceruk suara yang sudah ada. Sebab, terjadi penurunan elektabiltas antara survei terbaru dengan sebelumnya. Ia mengingatkan pasangan ASIH merupakan kuda hitam dalam pertarungan di Jabar. Alasannya, penurunan elektabiltas Dedi banyak mengalir ke duet yang diusung PKS bersama NasDem itu.

“Ada survei apa namanya, Indikator, kemudian Poltracking, suara Kang Dedi itu berkurang hampir 12 persen. Dari Indikator Politik itu 77 persen, kemudian Poltracking 65 persen. Sebagian suara itu menyebar ke tiga calon, paling besar kan itu yang kelihatan agak gemuk dapatnya Ahmad Syaikhu dan Ilham ya. Baru kemudian yang kedua Acep, yang ketiga Jeje,” ujarnya kepada Inilah.com.

Prof-Muradi Dok Unpad.jpg
Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Muradi. (Foto: Dok Unpad).

Dedi tak perlu memaksakan untuk merebut ceruk religius, karena bisa jadi itu malah menciptakan blunder. Di sisi lain, kalangan pemilih berbasis Islam di Jabar berbeda dengan Jawa Tengah (Jateng) ataupun Jawa Timur (Jatim). Muradi menjelaskan, ketimbang NU dan Muhammadiyah, Jabar lebih didominasi organisasi PERSIS, dan akar rumputnya tidak sepatuh di dua ormas tersebut.

“Kalau NU dan Muhammadiyah kepalanya bisa pegang, maka di bawah ikut. Kalau di PERSIS itu, mulai Pilkada pertama sampai hari ini, bahkan Pilpres kemarin, siapapun yang ketemu sama ketua PERSIS, belum tentu pemilih PERSIS itu akan coblos calon yang didukung oleh pimpinannya,” ujarnya.

Yang patut diwaspadai Dedi adalah jaringan PKS yang sudah cukup mengakar di Jabar, mengingat di tiga Pilgub sebelumnya selalu jagoan PKS yang menjadi pemenang. Apalagi, sosok Aher sangat dekat dengan kalangan guru, dia memiliki citra yang baik. “Jaringannya masih kuat hati-hati, karena selama 10 tahun Kang Aher itu betul-betul itu dekat dengan kalangan PNS, utamanya guru,” ucap dia.

Adu Religius PKB-PKS

Ceruk suara dari pemilih religius rupanya tak mutlak sepenuhnya akan jadi milik PKS. Survei terbaru yang dirilis oleh Indikator Politik Indonesia mengungkap bahwa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dinilai sebagai partai paling religius oleh warga Jabar. 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang selama ini dikenal dengan basis pendukung dari kalangan religius berada di urutan kedua, dengan perolehan angka 19,9 persen. PKB unggul dengan torehan 20,7 persen. Pengamat politik dari Universitas Islam Bandung (Unisba) Muhammad E Fuady menilai posisi ini tentu akan menguntungkan bagi pasangan Acep-Gita.

Pengamat Politik dari Unisba Muhammad E Fuady.jpg
Pengamat politik dari Unisba Muhammad E Fuady. (Foto: visinews)

Ia mengatakan, pasangan ini cukup menarik perhatian dan beda dari yang lain. Pasalnya, Acep memiliki latar belakang dunia pesantren dianggap saling mengimbangi dengan Gita yang memiliki latar belakang musisi dangdut. Gita juga jadi satu-satunya kandidat perempuan dari tujuh kandidat Pilgub Jabar 2024 lainnya.

“Acep ini dari basis nahdliyin, jadi bisa memanfaatkan jaringan pesantren karena kantong pesantren di Jabar juga banyak. Acep juga punya pengalaman politik sejak lama. Pendampingnya, Gita, mungkin sama dengan PDIP menaruh Ronal karena mereka dari kalangan artis. Jadi tampaknya lebih dipilih karena faktor popularitas,” tutur Fuad.

Ia berpandangan, pertarungan memperebutkan ceruk religius sesungguhnya adalah antara Acep-Gita dengan duet ASIH. Alasannya, Syaikhu sebagai Presiden PKS, juga punya darah Nahdlatul Ulama yang membuat beberapa tradisi NU menguat di PKS. Jaringan pemilih tradisional pun potensial bisa diraih. Tapi, bukan berarti PKS bisa terlalu percaya diri, sebab partai berwarna oranye ini tidak dinilai sebagai bagian dari NU, lebih melekat ke PKB.

Entah itu pasangan Dermawan, ASIH atau siapapun, tentu punya strategi dan beragam cara untuk bisa menarik simpati dan dukungan. Bagaimanapun strateginya, intrik-intrik politik maupun kekuatan para tokoh tentunya baru bisa dilihat setelah para pemilih memasuki bilik suara dan menentukan siapa jagoannya. 

[Rez/Reyhaanah/Clara]