Deflasi lima bulan beruntun terjadi jelang Presiden Joko Widodo menyelesaikan jabatannya sebagai kepala negara. Situasi ini serupa dengan kondisi pasca krisis moneter atau krismon pada 1999 lalu, namun penyebabnya berbeda.
Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, kondisi deflasi yang terjadi lima bulan beruntun saat ini berbeda dengan deflasi tujuh bulan beruntun pada periode Maret-September 1999. Ketika itu, deflasi terjadi pasca depresiasi dalam nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Setelah diterpa inflasi yang tinggi, sempat waktu itu inflasi tinggi karena terjadinya depresiasi nilai tukar, tapi kemudian tekan depresiasi turun otomatis harga-harga mulai kembali keseimbangan baru terjadi deflasi,” kata Amalia saat konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Selasa (1/10/2024).
Sementara untuk deflasi yang terjadi saat ini, Amalia menyebut, lebih disebabkan pasokan barang pangan yang berlimpah. Dia pun enggan menyimpulkan deflasi akibat daya beli masyarakat yang tengah merosot, termasuk turunnya jumlah kelas menengah beberapa hari terakhir.
“Apakah ini indikasi penurunan daya beli masyarakat tentu untuk kita menghubungkan apakah ini ada penurunan daya beli masyarakat kita harus melakukan studi lebih dalam karena angka indeks harga konsumen ini adalah yang kita catat berdasarkan harga yang diterima konsumen,” ucap Amalia.
Dia menekankan, deflasi yang terjadi lima bulan beruntun sejak Mei-September 2024 ini disebabkan pasokan harga pangan seperti komoditas cabai merah, cabai rawit, tomat, daun bawang, kentang, wortel, telur ayam, hingga daging ayam ras.
“Tentunya dengan angka yang direkam BPS melalui IHK karena terjadi penurunan harga dan ini dipengaruhi mekanisme pembentukan harga di pasar terutama dari sisi supply atau penawaran sehingga harga yang diterima konsumen relatif turun,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, deflasi lima bulan beruntun terjadi sejak Mei 2024 yang sebesar 0,03 persen, lalu berlanjut pada Juni 2024 sebesar 0,08 persen, dan Juli 2024 sebesar 0,18 persen. Lalu, pada Agustus 2024 sebesar 0,03 persen, dan per September 2024 makin dalam menjadi 0,12 persen.