Kedeputian III Bidang Perekonomian Kantor Staf Presiden (KSP), Edy Priyono membeberkan sejumlah capaian 10 tahun pemerintahan Jokowi. Mulai dari inflasi, kemiskinan hingga pertumbuhan ekonomi.
Mudah ditebak, pasti semuanya bagus-bagus. Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut adanya penurunan jumlah kelas menengah sebanyak 9,5 juta jiwa. Saat ini, mereka masuk kelompok rentan miskin. Bisa jadi, banyak yang sudah benar-benar miskin saat ini.
Selanjutnya Edy membuka data inflasi 10 tahun Jokowi, rata-rata 3,79 persen per tahun. “Ini adalah salah satu capaian terbesar, menurut hemat kami dari pemerintahan Pak Jokowi,” ucap Edy dalam seminar nasional bertajuk ‘Evaluasi Satu Dekade Pemerintahan Jokowi’ di Hotel Millenium, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2024).
Selain itu, Edy menyebut tingkat kemiskinan mengalami penurunan 2,22 persen dan kemiskinan ekstrem turun 5,35 persen. Demikian pula ketimpangan turun 0,027 poin.
Sementara untuk kelas menengah, Edy menyebut adanya penurunan, namun tidak sampai ambruk ke miskin. “Karena kalau mereka jatuh miskin, angka kemiskinan naik, ternyata kan tidak,” tegasnya.
Untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 10 tahun terakhir ini, lanjut Edy, rata-rata mencapai 5,07 persen per tahun. Kecuali saat pandemi COVID-19. Dengan PDB riil pada 2023 sebesar Rp12.301 triliun.
“Orang mengkritik tidak sesuai dengan target (pertumbuhan ekonomi) Pak Jokowi sebesar 7 persen, tapi Pak Jokowi memang begitu. Beliau itu kan seseorang yang selalu pasang target tinggi,” tuturnya.
“Poin saya, kalau dari target awal Pak Jokowi 7 persen per tahun, memang ini kelihatan rendah. Tapi kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain dalam situasi yang sulit dan sebagainya, pertumbuhan kita oke-oke saja,” sambung Edy.
Tak berhenti di situ, Edy mengeklaim, era Jokowi, neraca perdagangan konsisten mengalami surplus. Di mana, jumlah atau nilai ekspor lebih besar ketimbang impor. Begitu pula dengan investasi asing yang terus meningkat.
“Sebenarnya investasi asing ini ya sebenarnya terpaksa dalam arti gini, ada yang namanya saving invesment gap, itu bertolak dari sebuah pemahaman bahwa harusnya investasi itu dari saving,” kata dia.
Ia menyebut dana yang masyarakat simpan di bank, seharusnya kemudian disalurkan oleh perbankan dalam bentuk kredit, lalu digunakan sebagai pembiayaan investasi.
“Jadi harusnya ada keseimbangan antara saving dengan invesment. Nah di kita tidak, kita punya kebutuhan investasi yang jauh lebih besar daripada saving kita, sehingga muncul saving invesment gap. Nah investasi asing itu dalam rangka untuk menutup saving invesment gap,” ujarnya.
“Jadi ini adalah capaian-capaian positif selama kepemimpinan pak Jokowi, dan mungkin ini mengecewakan orang-orang yang pesimistik,” tandas Edy.