Perang Israel di Gaza telah melukai lebih dari 96.000 orang selama dua belas bulan terakhir dan diperkirakan 7.000 hingga 8.000 di antaranya harus mengalami amputasi anggota tubuhnya.
Isabelle Defourny, Dokter dan Presiden Médecins Sans Frontières (MSF), yang baru saja kembali dari misi di Gaza, mengatakan dalam jumpa pers Kamis (3/10/2024), dari 8.000 orang di Gaza yang diamputasi itu, 15 persennya membutuhkan perawatan rehabilitasi. “Sebanyak 12.000 orang di Gaza juga membutuhkan evakuasi medis,” katanya, mengutip The New Arab (TNA).
Defourny mengatakan kehidupan dasar di Jalur Gaza tidak terpenuhi. Ia memperingatkan bahwa Israel masih menghalangi pengiriman bantuan ke Jalur Gaza. Ini menyulitkan badan-badan bantuan karena Israel bersikap tidak jelas dan sewenang-wenang tentang barang-barang apa saja yang dapat masuk ke wilayah Gaza.
Amputasi pada Anak-anak
Perang Israel khususnya berdampak pada anak-anak. Selain lebih dari 14.000 orang yang tewas, UNICEF memperkirakan pada Januari sekitar 1.000 anak telah kehilangan satu atau kedua kaki mereka. Ini setara dengan 10 anak kehilangan anggota tubuh setiap hari akibat pemboman Israel. Jumlah tersebut kemungkinan besar telah jauh terlampaui saat ini.
Sementara awal tahun ini, LSM Humanity & Inclusion melaporkan bahwa 70 hingga 80 persen dari mereka yang dirawat di 12 rumah sakit di Gaza telah kehilangan anggota tubuh atau menderita cedera tulang belakang.
Dokter Ghassan Abu Sittah yang berkantor di London mengatakan bahwa Gaza menjadi saksi kelompok amputasi anak terbesar dalam sejarah. Dokter bedah ini melakukan hingga enam amputasi sehari saat bekerja di wilayah yang terkepung selama 43 hari.
Kurangnya pasokan medis karena blokade Israel terhadap bantuan dan penghancuran rumah sakit di Gaza telah menyebabkan para dokter terpaksa melakukan amputasi tanpa anestesi, dan terkadang dengan peralatan kasar.
Seorang dokter yang bermukim di Gaza, Rajaa Hassan, mengutip TNA mengungkapkan, amputasi terkadang merupakan satu-satunya pilihan. Kurangnya antiseptik menyebabkan luka dapat dengan cepat menjadi gangren, dengan amputasi anggota tubuh yang terluka seringkali menjadi satu-satunya cara untuk menghentikan pendarahan dan menyelamatkan nyawa pasien. Pasukan Israel juga telah menghalangi akses ke bank darah yang berarti transfusi tidak mungkin dilakukan.
Kurangnya perawatan medis dan fasilitas untuk membantu mereka di kemudian hari hanya memperparah penderitaannya. Para korban amputasi juga menghadapi risiko lebih besar karena ketidakmampuan mereka untuk melarikan diri dari serangan Israel yang terus-menerus terhadap Gaza.
Karena kurangnya sumber daya, para pekerja kesehatan Palestina terpaksa membuat prostetik buatan sendiri. Ini dilakukan sebagai bantuan sementara untuk membantu para korban amputasi yang kehilangan anggota tubuh akibat perang hingga mereka dapat memperoleh prostetik yang layak.