Klub Malam Mewah Sky Bar di Beirut Jadi Penampungan 400 Pengungsi


Kurang dari dua minggu lalu, warga Beirut riang gembira berdansa hingga fajar di Sky Bar, sebuah klub malam mewah di tepi pantai Beirut. Kini, keluarga-keluarga yang kehilangan rumah akibat perang Israel di Lebanon tidur di tempat itu di bawah temaram lampu disko.

Klub yang terkenal di dunia itu sekarang menjadi rumah bagi 400 orang terlantar — kebanyakan wanita, anak-anak, dan orang tua — yang terpaksa meninggalkan rumah akibat pemboman besar-besaran Israel di pinggiran selatan Beirut.

“Semuanya berawal karena para penjaga keamanan gedung kami… keluarga dan teman-teman mereka kehilangan rumah akibat pengeboman yang tak henti-hentinya di Dahiyeh [pinggiran selatan Beirut],” kata Dana el-Khazen kepada The New Arab (TNA). Suaminya, Chafic, adalah salah satu pemilik Sky Bar.

“Chafic bilang ke mereka [para satpam] kalau dia mau buka tempatnya, ada Sky Bar di atap dan Skinn [klub malam] di bawahnya, jadi mereka punya tempat tinggal,” ungkapnya.

Para pengungsi telah menerima sumbangan berupa kasur, pakaian, dan makanan melalui inisiatif akar rumput yang mulai dilaksanakan sejak eksodus massal akibat makin intensifnya serangan Israel di sekitar Lebanon mulai akhir September. 

Tepi pantai Beirut dulunya merupakan rumah bagi banyak klub malam dan gedung-gedung pencakar langit gemerlap, mewakili kehidupan malam Lebanon yang gemerlap dan menarik wisatawan dari seluruh dunia. Kini tempat itu menjadi simbol salah satu tragedi terburuk menimpa Lebanon yang dilanda krisis sejak perang saudara 1975-1990.

Tak Bawa Bekal Saat Mengungsi

Menurut data pemerintah, jumlah pengungsi kini mencapai lebih dari 1,2 juta orang. “Kami pergi tengah malam tanpa apa pun kecuali pakaian yang kami kenakan,” kata Batoul, 25 tahun, kepada TNA.

Duduk di tempat tidur darurat di lantai bersama ibu dan saudara perempuannya, dia menggambarkan malam yang mengerikan ketika harus meninggalkan rumah mereka di Laylaki, sebuah lingkungan di pinggiran selatan Beirut. Tempat itu juga menjadi sasaran serangan udara Israel. “Kami tidur di tanah, di atas beton polos” 

Batoul dan keluarganya terbangun dari tidur setelah salah satu serangan udara Israel terbesar selama perang ini menghantam pinggiran selatan Beirut, yang kemudian terungkap sebagai serangan menewaskan pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah.

“Kami terbangun karena suara terasa seperti sambaran petir tak henti-hentinya — sangat keras, begitu kerasnya sehingga kami tidak dapat mendengar satu sama lain; kami harus berteriak. Rasanya seperti ada badai petir di luar sana,” katanya.

Keluarganya terpaksa meninggalkan rumah mereka pada pukul 4 pagi di tengah gempuran Israel dan pergi ke kawasan pejalan kaki di tepi pantai Beirut yang dikenal sebagai “Corniche,” tempat banyak pengungsi lainnya bermalam. 

Mereka kembali ke rumah pada siang hari untuk mandi dan berdoa tetapi harus segera pergi lagi karena takut serangan udara kembali terjadi. Namun, ini bukan pertama kalinya keluarga Batoul mengungsi. Mereka telah meninggalkan rumah mereka di Aitaroun, dekat perbatasan di Lebanon selatan, hampir setahun yang lalu, yang kini menjadi lokasi pertempuran darat antara pasukan Israel dan pejuang Hizbullah.