DPR RI 2024-2029: Tukang Stempel Lama di Periode Baru?


Sulit berharap kepada Parlemen yang didominasi muka-muka lama, yang berkinerja 10 persen target, serta meneladani DPR RI di masa Orde Baru: tukang stempel dan pembebek kekuasaan eksekutif. Alih-alih jadi solusi, menurut Frank Feulner, di Indonesia DPR justru merupakan bagian dari masalah.

Ada prosesi ironis yang tak malu-malu digelar di Gedung DPR RI pada 19 September 2024: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 2019-2024, menyelesaikan masa baktinya dengan memberikan penghargaan kepada diri mereka sendiri atas kinerja lima tahun terakhir.

Dalam rapat paripurna terakhir DPR RI priode itu, mereka mengesahkan Peraturan DPR tentang Tanda Jasa Kehormatan bagi Anggota DPR periode 2019-2024, disertai prosesi pemberian piagam dan pin kehormatan. Tidak ada kriteria jelas yang bisa dimengerti publik mengenai penghargaan ini, terutama mengingat berbagai survei dan kritik publik yang konsisten menilai bahwa kinerja mereka buruk.

“Hanya 10 persen dari RUU Prolegnas jangka menengah yang berhasil diselesaikan. Ini adalah produktivitas yang sangat buruk dibandingkan dengan periode sebelumnya,” ujar Lucius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).

Selama lima tahun masa tugas, DPR RI periode 2019-2024 lebih dikenal karena kegagalan daripada keberhasilan yang mereka pahatkan. Dari 264 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), hanya 26 yang tuntas dibahas dan disahkan dalam rapat paripurna. Itu artinya hanya 10 persen dari target yang disepakati.“Inilah bukti konkret betapa DPR tidak efektif dan tidak punya kemauan untuk bekerja dengan baik,” ujar Lucius.

Dari 10 persen itu, banyak undang-undang kontroversial yang sebelum disahkan pun sudah ditentang berbagai pihak. Salah satunya Undang-Undang Cipta Kerja. Dengan menggunakan metode omnibus law, DPR dan pemerintah menggabungkan 76 undang-undang ke dalam satu paket besar. Prosesnya yang cepat dan tertutup menjadi sorotan utama, hingga akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, dan harus diperbaiki dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna.

Masalahnya, alih-alih memperbaiki undang-undang itu dengan melibatkan masukan masyarakat, DPR dan pemerintah malah kembali mengesahkannya tanpa perubahan substansial.”Pembahasan RUU seperti ini adalah ciri khas legislasi ala DPR dan pemerintah: cepat, cenderung tertutup, dan minim partisipasi,” kata Lucius. “Proses kilat itu bukan tanpa rencana, karena dengan proses yang kilat mereka punya alasan menghindari publik.”

Tidak hanya itu, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menuai kritik keras dari masyarakat. Revisi ini, yang dilakukan pada awal periode 2019-2024, dianggap melemahkan KPK sebagai lembaga antirasuah, yang sebelumnya menjadi pilar penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Bambang Wuryano, alias Bambang Pacul, seorang anggota DPR Komisi III dari PDIP, terang-terangan menyebut bahwa DPR hanya bekerja berdasarkan arahan dari pimpinan partai. “Yang menentukan apakah DPR mau membahas RUU atau tidak adalah perintah ketua partai masing-masing,” ujar Bambang.

Undang-undang lainnya yang juga banyak dipersoalkan adalah revisi UU Minerba–disahkan pada 2020–, yang justru memberikan kemudahan bagi pengusaha besar untuk mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan yang signifikan. “DPR dan pemerintah sangat terang mengabaikan pesan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan pembentukan undang-undang harus dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna,” kata Lucius.

“Anggur Bau dalam Botol Baru”

Gaya nyeleneh Anggota DPR RI Terpilih fraksi Golkar, Jamaludin Malik mengenakan kostum Ultraman pada hari pelantikan, Selasa (1/10/2024).
Gaya nyeleneh Anggota DPR RI Terpilih fraksi Golkar, Jamaludin Malik mengenakan kostum Ultraman pada hari pelantikan, Selasa (1/10/2024). (Foto: Inilah.com/Syahidan)

Bila dalam bahasa Inggris ada ungkapan “Anggur tua dalam botol baru”, dengan kinerja yang buruk itu boleh dibilang DPR RI 2024-2029 adalah anggur bau dalam botol baru.

Pertanyaan besar pun muncul: bisakah kita berharap perubahan, jika 91 persen anggota DPR RI saat ini adalah anggota DPR periode lalu kembali terpilih? “Sebanyak 521 dari 575 anggota DPR periode sebelumnya mencalonkan kembali dan berhasil terpilih lagi. Dengan angka sebesar itu, sulit rasanya mengharapkan ada perubahan signifikan,” ucap Y Taryono dari Formappi.

Dalam konteks ini, ungkapan “Anggur tua dalam botol baru” menjadi sangat relevan. Wajah-wajah lama itu mungkin dikemas dalam botol baru—prosesi pelantikan yang baru, janji-janji baru, fasilitas baru-– namun esensi dan cara kerja mereka tampaknya masih akan sama. Itu juga yang disorot dalam penelitian yang dilakukan Frank Feulner, “The Indonesian House Representatives and Its Role During Democratic Regression,” yang dimuat pada 9 Mei 2024 dalam jurnal online yang berbasis di Inggris, Taylor and Francis. Feulner mencatat bahwa DPR periode 2019-2024 tidak hanya gagal memenuhi ekspektasi sebagai lembaga pengawas eksekutif, tetapi justru turut berkontribusi pada kemunduran demokrasi di Indonesia.

Salah satu persoalan terbesarnya datang karena ketergantungan mereka–para anggota Dewan yang terhormat itu– pada arahan elit partai politik. Menurut Lucius Karus, fungsi legislasi DPR memang terhambat karena DPR tidak punya otonomi untuk menentukan RUU mana yang akan dibahas.”Kalau tidak menguntungkan bagi partai, ya RUU itu akan dilama-lamakan,” ujar Lucius.

Salah satu contoh yang mencolok adalah RUU Perampasan Aset, yang sejak tahun 2008 sudah diinisiasi. Apa kabar RUU itu? Hingga kini pun belum disahkan. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, menyatakan bahwa ketidakmampuan untuk mengesahkan RUU itu menunjukkan lemahnya komitmen DPR dalam mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Salah satu titik (di RUU itu) yang menyebabkan pemberantasan korupsi mengalami kemunduran adalah permasalahan pengembalian aset hasil kejahatan tindak pidana korupsi,” kata Diky.

Tentang RUU tersebut, Bambang Pacul dalam sebuah rapat dengan tegas mengatakan, “Kalau tidak ada perintah, ya jelas RUU seperti Perampasan Aset ini akan lama-lama dibahasnya.”

Boyamin Saiman, koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), juga mengkritik keras sikap DPR terhadap RUU ini.”Transparansi dan akuntabilitas dalam proses legislasi sangat buruk. DPR hanya saling lempar tanggung jawab, dan tidak ada kemauan untuk benar-benar mengesahkan RUU yang penting bagi kepentingan rakyat itu,” ujar Boyamin.

Nyaman Jadi Sekadar “Stempel” Eksekutif?

Peran DPR sebagai pengawas eksekutif semakin dipertanyakan ketika mereka justru terlihat lebih sering menjadi “tukang stempel” bagi kebijakan pemerintah. Hal itu terlihat dari pola pengesahan undang-undang yang hampir selalu mengikuti keinginan eksekutif, tanpa ada perdebatan berarti atau kritik dari DPR.

“DPR periode ini tidak lebih baik dari kolega mereka pada masa Orde Baru yang kerap disebut sebagai ‘tukang stempel’ semua keinginan pemerintahan Presiden Soeharto,” kata Lucius dalam sebuah wawancara.

Pandangan serupa juga dilontarkan Feulner.”Dalam banyak kesempatan, DPR (hanya) berperan sebagai stempel kebijakan pemerintah, tanpa memperhatikan penolakan publik yang luas,” tulis Feulner dalam studinya. Sementara, kata ia.”Dalam demokrasi, peran legislatif sangat penting untuk mengimbangi kekuasaan eksekutif. Namun di Indonesia, DPR justru menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.”

Undang-Undang Ibu Kota Negara, misalnya, disahkan dengan cepat dan cenderung tertutup. Padahal, dampak dari pemindahan ibu kota itu sangat besar bagi masyarakat, terutama terkait biaya dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Namun, DPR tidak menunjukkan keberpihakan kepada rakyat, melainkan lebih pada kepentingan elit yang mendorong proyek itu.

Dengan 91 persen anggota DPR periode 2024-2029 merupakan wajah lama, tampaknya nasib bangsa ini masih terjebak di tangan para legislator yang d masa lalu terbukti lancung dan gagal memenuhi harapan rakyat. “Saya kira masih merah. Belum ada yang berubah,” ujar Lucius mengenai kualitas anggota DPR yang baru dilantik itu. Harapan agar DPR menjadi lembaga yang lebih berintegritas dan memperjuangkan kepentingan publik tampaknya masih jauh dari kenyataan.

Dengan semua kenyataan itu, pertanyaan besar tetap menggantung. Apakah dengan “botol baru” ini, anggur lama akan terasa berbeda? Frank Feulner lebih percaya, tanpa perubahan mendasar dalam sistem dan komitmen, tidak ada alasan untuk berharap ada perubahan berarti dari DPR yang sebagian besar masih diisi oleh muka-muika lama itu.

“Demokrasi kita sedang dalam masa kritis, dan DPR justru menjadi bagian dari masalah, bukan solusi,” tulis Feulner dalam penelitiannya.

Dengan demikian, publik harus lebih kritis dan tidak lagi berharap pada perubahan kosmetik. Jika tidak ada perubahan signifikan dalam sistem perekrutan dan integritas para calon legislatif, maka  yang ada hanyalah “gerombolan lama dalam kemasan baru”, yang hanya akan membawa kita kembali pada masalah yang sama, tanpa solusi berarti.   [dsy/ rizki putra aslendra/diana rizky oktaviani]