Paket Evakuasi dari Lebanon Marak Diiklankan di Medsos, Cari Untung Saat Krisis


Beberapa perusahaan di Lebanon mengiklankan paket evakuasi di media sosial, menawarkan rute pelarian ke negara-negara tetangga di tengah meningkatnya serangan dari Israel di beberapa wilayah negara itu. Layanan ini telah memicu kritik karena dianggap mencari keuntungan saat warga kesusahan.

Puluhan bisnis jenis ini tengah marak menggunakan platform seperti Instagram untuk mempromosikan layanan evakuasi melalui bus, taksi, kapal, dan pesawat. Salah satu layanan tersebut, Private Routes Flight Dispatchers (PRFD) yang berpusat di Beirut, menawarkan penerbangan evakuasi carteran sesuai permintaan untuk hingga tujuh orang dari Bandara Internasional Beirut Rafic Hariri.

Menurut postingan di halaman Instagram mereka, tujuannya termasuk Mesir, Bandara Internasional Bangui M’poko di Republik Afrika Tengah, dan Bandara Internasional Entebbe di Uganda. 

Mengutip Arab News, PRFD mengungkapkan, harga sewa bervariasi tergantung pada anggaran klien dan keselamatan rute yang dipilih. Misalnya, biaya penerbangan carteran ke Larnaca, Siprus adalah $25.000 (sekitar Rp390 juta), tetapi jika visa tidak tersedia, biaya penerbangan ke Amman atau Istanbul naik menjadi $36.000 (sekitar Rp563 juta). Harga tiket pesawat ke Mesir adalah $31.000 atau sekitar Rp485 juta.

Seorang perwakilan PRFD menjelaskan bahwa, dalam keadaan normal, mereka akan menawarkan carter ke Eropa atau Teluk. Namun karena tingginya permintaan evakuasi, mereka tetap menggunakan rute yang lebih pendek untuk mengakomodasi semua orang.

Situs web PRFD menyatakan bahwa mereka menyediakan layanan penerbangan darurat, memanfaatkan pengalaman selama 15 tahun untuk memastikan operasi yang lancar, efisien, dan tepat waktu. Operator penerbangan mereka menggunakan teknologi canggih untuk perencanaan penerbangan, demikian yang dicatat situs web tersebut.

Perusahaan perjalanan lain, Traveo Agency, yang tampaknya telah diluncurkan awal September, menawarkan perjalanan bus ke Amman, Yordania seharga $100 (sekitar Rp1,5 juta) per tiket, dan perjalanan perahu ke Ayia Napa, Siprus seharga $995 (sekitar Rp15,5 juta) per orang. 

Sebuah unggahan di Instagram mereka berbunyi, “Penerbangan dibatalkan? Bepergian dari Beirut ke Ayia Napa dengan perahu,” menjanjikan keberangkatan dalam waktu lima hari. Arab News menghubungi Traveo Agency untuk mendapatkan rincian lebih lanjut tetapi tidak mendapat respons pada saat berita ini diterbitkan.

Instagram telah dibanjiri dengan tawaran evakuasi serupa. Byblos Rent A Boat, layanan penyewaan kapal pesiar di Beirut, mengunggah video yang menawarkan perjalanan perahu pribadi ke Siprus. Video tersebut, disertai suara yang dihasilkan komputer, mengklaim perjalanan tersebut memakan waktu lima hingga enam jam dengan kru profesional yang memastikan keselamatan. 

Harga tidak diungkapkan, meskipun pengguna berkomentar bahwa biayanya berkisar antara $2.000 dan $2.500 (Rp31-39 juta), yang memicu kritik karena mencari untung selama krisis.

Lebanon telah dilanda serangan udara Israel dalam beberapa minggu terakhir, semakin mendorong negara tersebut ke dalam apa yang disebut pengamat internasional sebagai kegagalan sosial-ekonomi dan kemanusiaan sistematis.

Krisis ini telah memperdalam jurang sosial dan ekonomi yang sudah sangat dalam. Warga Lebanon yang lebih kaya mampu melarikan diri dari kekerasan yang meningkat, meninggalkan banyak orang di belakang. Kesenjangan kekayaan yang semakin besar ini telah memicu kemarahan publik, karena warga biasa menghadapi kondisi semakin buruk sementara orang kaya mampu mendapatkan jalan keluar aman dari negara tersebut.

Seiring meluasnya konflik, warga negara Lebanon dan warga negara asing berebut untuk pergi. Karena sebagian besar penerbangan komersial ditangguhkan, pilihan untuk melarikan diri menjadi terbatas. Beberapa negara telah mengatur evakuasi udara, namun banyak yang menggunakan feri penuh sesak atau kapal lebih kecil karena bom terus menghantam pusat kota Beirut.

Praktik bisnis oportunistik selama krisis, yang sering disebut sebagai “pencarian untung dari bencana,” bukanlah hal baru di Lebanon. Dalam konflik-konflik sebelumnya, bisnis-bisnis telah beradaptasi untuk memenuhi permintaan masa perang, dengan beberapa di antaranya menyelundupkan barang-barang penting atau mengambil untung dari pasar gelap.

Setelah jatuhnya lira Lebanon pada 2019 dan kemerosotan ekonomi yang terjadi setelahnya — diperburuk oleh korupsi, pemerintahan yang tidak berfungsi, dan lembaga-lembaga yang runtuh — pasar gelap pun berkembang pesat. Jaringan gelap ini, yang memanfaatkan ketergantungan Lebanon pada pengiriman uang sebagai jalur penyelamat.