Kegalauan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia tentang tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor liquefied petroleum gas (LPG) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Perlu dicarikan solusi konkret jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan itu.
Pakar Migas yang pernah berkarir di SKK Migas pada 26 Juni 2024, Fatar Yani Abdurrahman menyebut pasti ada solusinya. “Pertanyaannya, bagaimana mau bangun kilang LPG kalau bahan baku gasnya tidak ada unsur C3 dan C4. Harusnya yang dicari akar permasalahannya. Kenapa kita harus konsumsi LPG,” kata Fatar, dikutip dari YouTube Polgov Talk with Expert yang dipandu Hasrul Hanif, Dosen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Rabu (9/10/2024).
Fatar memaparkan, setelah temuan beberapa cadangan gas alam jumbo, Indonesia diperkirakan mengalami over supply pada 2032. “Gas alam itu yang seharusnya menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat dan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.
Penggunaan gas alam sebagai pengganti LPG, kata dia, saat ini, sudah diterapkan dalam program jaringan gas (jargas). Hanya saja, program ini baru menyentuh masyarakat di sejumlah kota di tanah air.
“Ke depan, secara perlahan Jargas inilah yang diharapkan bisa menggantikan LPG dan memenuhi komitmen Indonesia mengurangi emisi, karena gas alam merupakan energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan,” ungkap Fatar.
Meski demikian, kata dia, temuan cadangan gas alam berjumlah besar di tanah air itu masih membutuhkan infrastruktur jaringan pipa yang menghubungkan mulai dari ujung Pulau Sumatra hingga ke Pulau Jawa dan Bali, termasuk Kalimantan, Papua dan Maluku.
“Saat ini, jaringan gas ini masih terputus di Cirebon dan Semarang, disingkat Cisem. Jika Cisem 2 ini tersambung, maka dari mana pun temuan gas alam, bisa dikirim ke mana pun di Pulau Jawa dan Sumatra. Bisa dimanfaatkan untuk mengurangi impor LPG dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Fatar.
Saat ini, dia menyarankan pemerintah untuk fokus kepada pembangunan infrastruktur gas secepat mungkin. Bisa ditempuh dengan penugasan kepada BUMN atau ditenderkan kepada pihak swasta.
Sebelumnya, Bahlil mengeluhkan tingginya volume impor LPG untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Produksi nasional hanya 1,7 juta ton sementara permintaannya mencapai 8 juta ton per tahun.
“Terkait persoalan migas khususnya gas LPG, kita dalam kondisi yang memprihatinkan. Saya tanya ke tim ESDM, kenapa enggak bisa kita membuat LPG di dalam negeri? Ternyata harus ada C3, C4. Saya enggak ngerti C3, C4 itu apa,” kata Bahlil, Senin (7/10/2024).
Bahlil tidak mau Indonesia terus bergantung kepada perusahaan migas raksasa asal Arab Saudi, Aramco yang harga jualnya lebih mahal.
“Dengan harga yang ekonomis, jangan harga Aramco contoh 600 dolar AS, transport 50 dolar AS, berarti 650 dolar AS. Sementara industri dalam negeri belinya di bawah 600 dolar AS. Enggak fair menurut saya,” ungkapnya.